"Terima Kasih"

166 7 0
                                    

PLAKK.

Theo meringis saat sebuah tamparan mampir di wajahnya.

"Kamu tuh ngapain sih ?!" bentak Tara

Theo mengusap pipi kirinya yang baru saja mendapat hadiah tamparan dari Tara. Riki yang sedang duduk bersandar di atas ranjangnya menatap Theo dengan ekspresi yang sama sekali tidak bisa dibaca oleh Theo. Tara mendengus dan langsung berjalan keluar kamar Riki. Bunda yang berdiri di depan kamar Riki menatap cemas wajah babak belur Theo langsung dipaksa ikut oleh Tara. Bintang yang masih duduk di kursi belajar kakaknya tampak kebingungan harus melakukan apa.

"Kamu habis ngapain ?" mulai Riki

Theo tidak langsung menjawab. Masih sibuk mengusap-usap pipinya yang sakit.

"Masa nggak ngerti sih" balas Theo, enggan menjawab langsung dengan mulutnya

"Aku mau denger langsung dari mulut kamu"

Theo meringis. Ia tidak bisa menolak Riki. "Main pukul-pukulan sama Albert..."

"Mainnya kalian tuh kelewatan"

Theo menatap wajah Riki yang datar. Theo lebih berharap Riki memasang wajah marah dan memukulnya seperti Tara dibandingkan bersikap tenang seperti itu.

"Apa yang bikin kalian main pukul-pukulan malem-malem gini ?"

Theo diam lagi. Kali ini tanganya berhenti mengusap-usap pipi dan beralih memegangi belakang kepalanya. Terasa benjol besar. Theo meringis sekilas sebelum mejawab pertanyaan Riki.

"Aku lagi marah aja sama Albert..."

"Alasannya ?"

Riki masih mengejar dan itu membuat Theo kesal.

"Albert mambuk, mukul aku trus aku bales. Jadi deh main pukul-pukulan". Theo mengangkat kedua bahunya. Dia tidak bohong, Albert memang habis minum.

Riki menatap Theo kesal. Jalur pembicaraan mereka dibuat ruwet oleh Theo. Setelah ditunggu-tunggu, Theo sama sekali tidak berniat memberikan penjelasan lanjutan. Melihat Theo sedang dalam mode keras kepala, Riki langsun g menghela nafas panjang.

"Aku tanya Albert saja besok..."

"Rik !"

"Tadi Albert hanya mabuk kan, kalau aku tanya Albert besok pasti nggak apa-apa. Lagipula kalau memang Albert yang salah karena mabuk aku bisa membujuknya untuk meminta maaf padamu"

"Rik, Nggak gitu !"

Riki menatap Theo dan Theo balas menatap Riki dengan tatapan tidak setuju.

"Kenapa ? Kamu nggak mau njelasin ke aku, jadi aku harus tanya ke pihak keduanya kan"

Theo menggigit bibir bawahnya kesal. Rasa sakit bekas pukulan Albert dan tamparan Tara ditambah luka di bibirnya membuat Theo merasakan rasa perih yang luar biasa.

"Aku... nggak terima... aku nggak terima sahabatku dikata-katai..." jelas Theo akhirnya

Riki menghembuskan nafas panjang. Tangan kanannya terangkat dan siap untuk memberikan tamparan susulan. Theo langsung menutup matanya, menunggu rasa perih yang akan menyapa pipinya lagi.

Bukan rasa perih yang Theo rasakan, justru tepukan ringan yang ia rasakan di pipinya. Theo membuka matanya dan melihat tepukan ringan itu berasal dari punggung tangan Riki. Riki tertawa lalu menyentil kening Theo. Theo berjengit kaget, tidak menyangka dengan apa yang dilakukan Riki.

"Woi ! Kamu yang babak belur, cepat duduk di sana !" perintah Tara tiba-tiba membuat Theo reflek berbalik dan melihat Tara sedang berdiri di ambang pintu sambil menenteng kotak P3K. Bunda yang berdiri di belakangnya membawa baskom berisi air hangat terkikik geli.

"Um..."

"Hei ! Denger gak sih ?! Cepet duduk !. Tuh kepala udah diisi otak bego, baru kena bogem lagi, jangan bikin gue bedah isi kepala lo buat ngebaliin kebego‟an lo yang awal" seru Tara dengan lidah tajamnya.

Theo mendelik kesal. "Hei !"

Riki spontan langsung tertawa, sudah lama ia tidak melihat adegan ini. Tara dan Theo mulai beradu mulut membuat ricuh kamar Riki. Bintang yang sejak tadi hanya duduk di kursi belajar kakaknya hanya senyum-senyum sendiri melihat adegan drama live di depan matanya. Bunda langsung bergegas masuk dan menenangkan suasana.

...

"Kak Theo..."

Theo menoleh. Matanya sempat mendelik kaget melihat siapa yang memanggilnya. Bintang berdiri di depan pagar menatap Theo yang hendak menghidupkan motornya.

"Kak Theo ngerti kenapa dulu aku selalu ngejauhin Kak Riki ?"

Theo mengernyit. Pembicaraan yang diluar dugaan. Theo berpikir sebentar lalu menggeleng pelan

Bintang tersenyum seolah dia sudah tau jawabannya. "Kapan ya... waktu penyakit kakak pertama kali ketahuan oleh dokter. Aku nggak begitu ambil perhatian karena aku nggak ngerti jadi aku nggak begitu ingat kapan. Aku juga nggak ngerti kenapa Bunda tiba-tiba menangis. Padahal kakak keliatan baik-baik aja..."

Theo menegakkan badannya menatap Bintang. Bintang masih tersenyum lalu melanjutkan

"Awalnya aku nggak ngerti apa itu Ataxia, tapi waktu kakak pertama kali jatuh dari tangga dulu, aku bener-bener panik. Aku nggak nyangka kalau Ataxia bisa ngebuat Kak Riki jatuh dari tangga waktu itu..."

"... Lama-lama aku belajar kalau suatu saat nanti Kak Riki akan... lumpuh"

Bintang mendongak, berusaha menahan air matanya yang hendak mengalir.

"Ayah bekerja mati-matian untuk kakak. Bunda mencurahkan semuanya untuk kakak. Jujur, waktu itu aku merasa seperti disisihkan".

Theo masih sabar mendengarkan Bintang mencurahkan isi hatinya yang selama ini ia pendam. Bintang tertawa kecil mengalihkan pikirannya dari air matanya yang nyaris tidak bisa ia bendung.

"Aku kesal soal itu. Di sisi lain aku takut waktu Kakak akan pergi meninggalkanku duluan. Aku berkali-kali membayangkan dan lama-lama aku jadi dihantui oleh bayangan itu. Tau-tau saja aku sudah menjauhi kakak" Bintang menunduk, gagal menahan air matanya. Bintang mengusap air matanya lalu menatap Theo. Masih tersenyum.

"Aku sangat bersyukur Kak Riki punya Kak Theo di samping Kak Riki. Sekarang juga ada Kak Tara di sisi Kak Riki. Aku cuma ingin bilang..." Bintang menarik nafasnya, menahan sesenggukannya yang mulai mengacaukan suaranya

"Tolong jangan tinggalkan kakak... seperti saat aku meninggalkannya dulu..."

Theo tersenyum. Theo mengulurkan tangannya dan mengusap-usap kepala Bintang yang mulai menangis sesenggukan.

"Aku janji. Seumur hidupku aku akan jadi sahabat Riki"

Bintang mengangguk kecil lalu mendongak menatap Theo. "Terima kasih..."




Soundless VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang