"Selamat Tinggal"

279 7 3
                                    

Riki hanya bisa duduk diam di ruang tunggu rumah sakit. Tara di sampingnya duduk dalam posisi membungkuk dalam dengan kedua tangannya menutupi wajah. Riki bisa melihat Tara sangat kelelahan akan tetapi menahan diri untuk tidak tertidur.

Dari ujung koridor Riki bisa melihat Theo berjalan mendekat dengan menenteng kresek penuh. Theo menghentikan langkahnya begitu tiba tepat di depan Tara dan menyodorkan kresek di tangannya

"Tara, kau belum makan sama sekali" ucap Theo.

Riki menoleh ke arah Tara yang sama sekali tidak merespon. Pandangannya kosong. Theo menghembuskan nafas panjang lalu berjongkok di depan Tara.

"Tara ? Aku yakin kau mendengarkanku. Ini, makanlah"

Tara tetap tidak menjawab. Pandangannya kosong sejak tadi. Entah sudah berapa jam kami duduk diam di sini. Theo-lah orang pertama yang datang memecah kesunyian.

Theo menghembuskan nafas menyerah dan meletakkan kresek itu di samping Tara. Theo beranjak bangkit dan memilih tempat duduk kosong yang ada di hadapanku kami.

Riki menatap wajah Theo yang sama-sama kelelahan. Theo menyandarkan kepalanya ke tembok di belakangnya dan menatap kosong ke arah atap. Riki membuka mulutnya tapi kembali ia katupkan.

Entah kenapa dirinya justru merasa sangat tenang. Pikirannya jernih. Ada sedikit perasaan sedih saat menatap kedua sahabatnya begitu tertekan.

Sekali lagi Riki menoleh ke arah Tara yang sudah mulai mendongak dan menatap kosong ke arah tembok di samping Theo.

Riki tersenyum lalu menatap Theo yang masih menatap kosong ke arah atap.

"Hei, kuserahkan sisanya padamu. Seperti biasanya"

Detik itu juga Theo mendelik kaget dan menatap ke arahnya. Riki tersenyum saat Theo berhasil melihat sosoknya.

Theo menggerakkan bibirnya tanpa suara dan Riki tersenyum menenangkan "Ri... ki... ?"

Ya Tuhan... sekali saja... untuk kali terakhir ini saja. Terima kasih banyak.

...

Aku membantu Riki duduk di bangku taman rumah sakit. Riki tersenyum padaku setelah posisi duduknya sudah terasa nyaman. Aku tersenyum balas. Selang beberapa detik, Riki tampak berusaha mengulurkan tangannya meraih kursi rodanya.

Aku mengerti apa yang ingin diambilnya. Aku berbalik mengambil papan huruf yang ada di atas kursi roda dan memberikannya kepada Riki. Riki sepertinya hendak mengucapkan terima kasih tapi suara maupun gerak bibirnya tidak mendukung.

Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum. Melihat balasanku Riki memasang senyum kaku, dari tatapan matanya aku yakin sebenarnya Riki ingin tertawa.

Suara tawa anak-anak tiba-tiba terdengar. Aku menoleh dan memandangi sekumpulan anak laki-laki yang sedang bermain bola sepak. Aku akhirnya memilih untuk duduk di samping Riki dan ikut memperhatikan segerombolan anak itu bermain.

Riki tiba-tiba menggerakkan jemari tangannya di atas papan huruf dan mataku terus menelusuri gerakannya yang tersendat-sendat itu

"Terima kasih‟

Aku menganggukkan kepala dan tersenyum "Hmh, sama-sama"

Riki tersenyum padaku lalu kembali memperhatikan gerombolan anak-anak bermain. Yang mereka lakukan hanya mengoper bola dari satu kaki ke kaki lain. Sesederhana itu tapi mereka tampak senang melakukannya. Bila ada yang gagal mengoper balik, anak itu akan dijadikan bahan ledekan sampai permainan dilanjutkan kembali sambil tertawa. Matahari pagi yang hangat membuatku merasa begitu nyaman berada di sini.

Soundless VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang