"Hei" sapa Iqbal yang sudah menunggu di depan bengkel "Kaget gue waktu kemaren lo ngirim gue e-mail tanya kapan Albert di bengkel".
"Hai, bal. Buat jaga-jaga aja. Ada di dalam ?" Theo balas menyapa disusul sebuah pertanyaan yang membuat Iqbal spontan tertawa
"Ada-ada... ayo ikut gue masuk. Tapi pertengahan jalan aja ya, gue nggak mau terlibat masalah lo berdua sama Albert" jawab Iqbal
"Aku aja yang masuk. Te, tungguin di sini ya" ucap Riki. Theo mengangguk saja toh dirinya masih enggan masuk ke bengkel tersebut
Riki mendorong roda kursi rodanya menuju pangkalan motor tempat Albert biasanya mangkal mengikuti Iqbal yang tampak akrab menyapa teman-teman se-geng-nya. Beberapa orang yang mengenali Riki langsung terperangah melihatnya termasuk Albert yang tidak menduga Riki akan tiba-tiba muncul seorang diri. Iqbal mengisyaratkan kepada Riki hendak cabut dan Riki membalasnya dengan anggukan barulah Riki mencurahkan seluruh perhatiannya kepada Albert.
"Lama tidak jumpa, Bert" ucap Riki dengan senyum polosnya yang biasa.
Albert menatap Riki dengan tatapan aneh. 'Berani amat anak satu ini kesini malam-malam' batin Albert.
Ditaruhnya kartu-kartu yang sedang ia mainkan di atas meja lalu beranjak mendekati Riki. Riki yang duduk di atas kursi roda mau tidak mau harus mendongak saat melihat Albert padahal sesungguhnya tingginya dengan Albert tidak berbeda jauh.
"Mau apa ?" tanya Albert dengan nada yang tidak dapat Riki tangkap dengan jelas. Entah itu marah, gusar, bingung, sinis, mayoritas yang terdengar di telinga Riki adalah geraman.
"Mau bicara. Sebentar saja. Boleh ?"
Albert tidak langsung menjawab. Ditatapnya bola mata Riki. Tidak ada rasa takut maupun kemarahan yang terlihat dari kilatan mata Riki. Hanya sorot mata orang polos yang penuh rasa ingin tahu ditambah senyum hangatnya yang selalu saja tersungging.
"Di luar" balas Albert.
Riki mengangguk lalu memutar kursi rodanya sendiri keluar dari pangkalan motor tersebut diikuti Albert yang masih memasang tatapan curiga. Di luar, Theo berdiri diam di samping motornya. Plester di bawah bibir itu sudah dilepas dan lukanya sudah tidak begitu terlihat. Albert tampak tidak terlalu terkejut melihat kehadiran Theo. Di mana ada Riki pasti di sana ada Theo.
"Apaan neh, mau keroyokan ?" sindir Albert dengan seringaian yang membuat Theo mengerutkan kening marah.
Riki tertawa sambil menggeleng. "Aku kan bilangnya mau bicara. Theo hanya mengantarku kemari"
Theo masih terus menatap Albert tajam. Albert membalasnya dengan seringaian. Benar juga, Riki tidak melihat bekas luka di wajah maupun tubuh Albert. 'Perbedaan otot saja sudah terlihat jelas. Besar juga nyali Theo' batin Riki.
"Te, aku mau ngomong berdua aja sama Albert"
Theo terperangah mendengar perkataan Riki. "Rik !" Theo menyuarakan protesnya tapi Riki hanya membalasnya dengan gelengan kepala. Riki menoleh ke arah Albert dan keduanya saling bertukar pandang
"Ya ?" pinta Riki dengan senyumnya yang menyenangkan.
Theo menggigit bibir bawahnya berusaha menahan diri. Riki menoleh ke arah Albert dan seolah mengerti arti tatapan Riki, Albert langsung berjalan menuju tempat yang sepi diikuti Riki. Theo terus memandangi keduanya hingga keduanya hilang ditelan kegelapan.
Riki dan Albert tiba di gang kecil di sebelah kanan bengkel Albert. Gang itu hanya selebar 1 ½ meter dan merupakan gang buntu.
"Jaaadiii... apa yang ingin si lumpuh ini bicarakan denganku"
KAMU SEDANG MEMBACA
Soundless Voice
Teen FictionNamaku Tara. Aku tidak punya apa-apa. Kupikir aku sudah membuang segalanya, tapi ternyata tidak. Namanya Riki. Entah bagaimana caranya ia mengembalikan apa sudah kubuang mati-matian Saat kupikir kau sudah mengembalikan semua yang sudah kubuang, kau...