"Perih"

136 5 0
                                    

Aku tidur menghadap dinding di atas ranjangku. Tirai kamarku masih kututup padahal sudah pukul 8 pagi.

Hari ini hari minggu dan sudah seminggu sejak aku terakhir kali berbicara dengan Riki. Riki sudah kembali ke kampus dan tidak pernah lagi menghampiriku sedang aku hanya bisa menatapnya dari kejauhan berharap dia mau berbalik dan menghampiriku seperti biasanya.

Tok tok

"Neng Tara ? Neng sudah mandi ? Mau bibik buatkan sarapan ?"

Aku menggeleng pelan meski aku yakin Bik Mah tidak mungkin bisa melihatnya.

"Nggak bik" jawabku singkat lalu melanjutkan lamunanku.

Bik Mah yang berdiri di depan kamarku hanya mendesah panjang sebelum akhirnya memutuskan untuk angkat kaki dari depan kamar majikannya.

Aku mendengar suara langkah Bik Mah menjauh barulah aku medesah panjang. Aku mengucek-ucek mataku lalu beranjak duduk. Sepasang kantung mata menghiasi kedua mataku. Buku-buku yang tebalnya mencapai 3 sampai 5 senti berserakan di sekitarku dan di atas meja belajarku dalam keadaan terbuka. Warna-warni sticky note kecil khusus pembatas buku menghiasi sisi atas setiap buku yang ada membuatnya tampak penuh.

Aku memegang kepalaku. Panas. Kepalaku sakit, tapi tanganku masih terulur mengambil salah satu buku dengan ketebalan 4 senti dan melanjutkan membaca. Semua hal tentang cerebellum, syaraf motorik, neurologi, bahkan cara mengatasi kasus tersedaknya para panderita Ataxia berhasil kurekam dalam kepala.

Asal kalian tau, gelar passing grade tertinggi itu bukanlah sekedar isapan jempol belaka.

Tok tok

"Permisi, neng Tara ? Bibik bawakan susu hangat untuk neng. Mau ya neng ?"

Aku mendongak menatap pintu kamarnya. Aku menghembuskan nafas panjang mengaku kalah dengan Bik Mah. Aku menurunkan kedua kakiku pertama dari ranjang lalu kedua tanganku mendorong pantatku naik.

Langkahku agak terhuyung-huyung mendekati pintu dan begitu pintu kubuka, yang kulihatnya bukan hanya Bik Mah tapi juga sosok pemuda jakung dengan kaus biru bertuliskan HOME SWEET HOME ber-font putih.

Tangan kanannya terangkat dan senyum jenaka langsung menghiasi wajahnya

"Yo"

Aku tertegun begitu melihat tamu tak diundang ini datang. Bik Mah hanya tersenyum takut-takut karena membawa tamu tak diundang ini ke depan kamar majikannya. Bukan Albert yang sudah biasa mengantar-jemputku, bukan pula Riki.

"Heei... apa sekaget itu kau melihatku berdiri di dalam rumahmu ?"

"... Theo..."

Theo tersenyum kecil melihat reaksiku. Kalau dipikir-pikir lagi sudah lama aku dan Theo tidak berbicara.

"Boleh aku menunggu di ruang tamu ? Ada yang ingin kubicarakan denganmu. Pertama mandilah yang bersih lalu turun dengan pakaian yang lebih sopan"

Aku tertegun mendengar perkataan Theo. Aku menunduk dan menyadari aku

hanya memakai tank top ungu dan celana pendek putih. Aku menjerit dan langsung membanting pintu. Hei ! Itu pelecehan seksual !.

Aku bergegas masuk ke kamar mandi yang langsung terhubung dengan kamarku. Mandi secepat kilat, memakai polesan bedak tipis untuk mengaburkan kantong mataku, lalu mengganti pakaianku dengan training dan kaus lengan panjang.

Penampilanku lebih mirip seperti orang yang ingin berangkat jogging tapi biarlah, untuk apa berdandan repot-repot di rumah sendiri ?.

Aku beranjak keluar kamar dan menuju ruang tamu. Di sana duduk Theo seorang diri di atas sofa, sibuk memainkan game di handphonenya. Suara game yang familiar membuatku tertarik untuk mendekat.

"Piano tiles ?"

Theo mendongak agak kaget begitu menyadari aku yang sudah berdiri di sampingnya. Theo mengangguk dan memamerkan hasilnya sambil nyengir kuda. Theo memainkan classic "pro" dan kini di layar handphone-nya terpampang angka "8.789" besar-besar.

Aku mengangkat kedua bahuku dan mengulurkan tanganku meminta Theo menyerahkan handphonenya. Aku menekan 'Again' dan memainkan classic "pro" sampai selesai lalu memamerkan hasilnya tepat di depan wajah Theo.

"8.436 detik" pamerku menang Theo menatap tidak percaya lalu menggerutu kesal. Aku hanya balas menyengir senang.

Theo merebut handphonenya dari tanganku lalu mengantonginya ke dalam saku jaket merahnya. Aku memilih untuk duduk di sofa terpisah di samping Theo.

"Jadi... apa yang ingin kau bicarakan denganku ?"

Theo menatapku sekilas sebelum menunduk lagi mengamati jempol kakinya. Aku ikut menunduk menatap kedua lututku. Pasti mengenai Riki.

"Maukah kau mengunjungi Riki ?"

Aku terdiam. Terngiang kata-kata terakhir yang kudengar dari Riki untuk tidak menemuinya lagi.

"Aku tahu aku seenaknya tapi... demi Riki... Kau mau melakukannya ?"

Aku tidak langsung menjawab. Tatapanku masih fokus tertuju ke arah kedua lututku. Rasa kantuk tiba-tiba melandaku. Posisi dudukku yang nyaman dan punggung yang bersandar pada sofa membuatku terlena dan mengantuk.

"Tara ?"

"Aku nggak tau... harus gimana lagi..." jawabku akhirnya.

Aku meremas training abu-abu-ku. Aku ingin bertemu Riki. Sangat ingin. Aku begitu inginnya sampai-sampai membuatku gila. Otakku panas karena memikirkan Riki juga usahaku belajar mati-matian seperti itu.

Air mataku meleleh. Ini menyakitkan saat mengingat Riki. Aku jadi teringat mama dan aku mengerti akhir seperti apa yang akan kudapatkan kalau perasaanku ini terus berkembang

"Kalau saja... kalau saja aku tidak pernah bertemu Riki... aku..."

"Jadi kau menyalahku yang mempertemukanmu dengan Riki ?" potong Theo

Aku terdiam. Aku teringat saat itu, di kantin, Theo menyapaku pertama kali dengan Riki di belakangnya. Jauh di lubuk hatiku yang terdalam, aku sangat bersyukur waktu itu Theo menyapaku. Mengenalkanku dengan Riki. Waktu yang kuhabiskan bersama mereka. Aku sangat senang, tapi juga menyakitkan.

"Aku ingin tanya padamu. Apa yang sejujur-jujurnya kau inginkan ?"

"Aku nggak..."

"Tara, jawab dengan jujur. Kau bersyukur bertemu dengan kami ? Atau tidak ?"

Aku meremas trainingku lagi. "Aku bersyukur... bertemu dengan kalian... aku senang sekali... aku... tidak ingin... waktu kita bersama... habis..." Mataku basah, pandanganku mulai kabur karena air mata

"Aku... ingin bertemu Riki..." aku menggigit bibir bawahku. Ya, itu suara hatiku yang terdalam. Aku sudah tidak bisa membendung perasaan ini lagi

Theo tersenyum lalu mengusap-usap kepalaku "Maukah kau menemui Riki ? Meski Riki mengatakan untuk tidak menemui dia lagi tapi kau tau itu bukan dari hatinya. Kau harusnya mengerti Riki itu orang yang seperti apa"

Aku mengangguk lalu menenggelamkan wajahku ke dalam kedua telapak tanganku. Pagi itu kuhabiskan dengan menangis sampai mataku bengkak.

...

Theo menatap Tara yang sudah berhenti terisak. Hela nafas yang teratur terdengar dari arah Tara. Theo tersenyum lalu menyandarkan badan Tara perlahan -lahan ke sandaran sofa. Bertepatan dengan saat itu Bik Mah datang sambil membawa 2 gelas teh hangat. Theo tersenyum sambil menempelkan jari telunjuknya di depan bibir.

"Saya pulang dulu ya bik. Sebaiknya biarkan Tara tidur saja dulu disini, sepertinya dia sudah tidak tidur berhari-hari"

"Ah, um, Nak Theo. Terima kasih banyak..." ucap Bik Mah.

Theo tersenyum lalu beranjak keluar rumah Tara. 'Hanya ini yang bisa kulakukan untuk kalian. Sisanya tergantung kalian berdua' batin Theo.

Theo sempat berbalik menatap Tara sekilas lalu tersenyum sedih.

"Aku terlambat... eh..."




Soundless VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang