"Tidur"

225 7 0
                                    

"Gejala Sinusitis ya... sebaiknya hindari cuaca dingin dan rutin minum obat. Untuk sementara ini baru gejala jadi tenang saja. Ada pengalaman alergi ? Tidak ada ? Baiklah... ini dia"

Aku menyerahkan secarik resep kepada si ibu. Putrinya yang memakai masker duduk diam di atas pangkuan ibunya dan menatapku penuh antusias. Aku balas menatap putrinya dan tersenyum lembut

"Lila jangan sakit lagi ya" ucapku tulus. Gadis kecil itu, Lila, langsung berbalik dan memeluk erat ibunya.

Aku tertawa melihat aksi malu-malunya.

"Hayo, Lila, ke Bu Dokter bilang apa hayo ?" kata ibunya sambil menepuk pelan belakang kepala Lila. Lila menoleh ke arahku masih malu-malu

"Terima kasih" ucapnya lirih dan langsung berbalik memeluk ibunya makin erat.

Aku dan ibunya tertawa bersamaan melihat tingkah menggemaskan Lila.

"Baiklah kalau begitu saya permisi dulu. Terima kasih banyak Bu Dokter"

"Sama-sama. Cepat sembuh ya" ucapku sambil melambaikan tangan sampai si ibu dan putrinya pergi meninggalkan ruangan.

Aku melirik jam dinding yang menandakan jam berakhir praktek harinya. Tadi itu pasien terakhir. Aku merenggangkan kedua tanganku dan memijat leherku yang pegal. Ini melelahkan.

"Bagaimana Bu Tara ? Mulai terbiasa ?" sapa sebuah suara. Aku langsung menoleh ke belakang dan mendapati Pak Deda, dokter senior yang ditugasi menjadi pengawasku selama kegiatan kepanitraan klinik  ini.

"Yah, kurang lebih. Paling tidak saya sudah bisa berinteraksi dengan pasien" jawabku sambil terkikik geli mengingat pengalaman pertamaku, aku benar-benar gagap menghadapi pasien. Kuakui kemampuan komunikasiku saat itu sangat kurang.

"Kudengar kau ingin mengambil gelar Spesialis Saraf Sp.S ?" tanya Pak Deda.

"Ah, iya. Saya ingin lebih dalam di bidang neurologi" jawabku

Pak Deda menganggukkan kepala takzim lalu tersenyum padaku. "Saya tau kau memiliki kemampuan lebih. Saya tidak ada masalah dengan keputusanmu menjadi Neurolog. Berjuanglah, saya dan rekan kerja dokter ikut mendukungmu"

"Terima kasih" jawabku sambil tersenyum malu. Pak Deda tersenyum sekilas sebelum akhirnya beranjak pergi lewat pintu belakang. Aku bergegas membereskan meja kerjaku dan beranjak pergi.

...

"Selamat Datang‟

Aku tersenyum. Sapaan hangat itu membuatku lega. Aku langsung berlari melempar tas kerjaku ke lantai rumah sakit dan memeluk Riki.

Riki tampak kaget dengan apa yang kulakukan. Tangan kanannya menepuk-nepuk pundakku. Aku tertawa sekilas sebelum melepas pelukan. Tatapan kami bertemu dan aku memberikan senyuman terbaikku. Riki mendengus dengan senyumnya yang kaku.

"Ada apa ? Kau terlihat senang‟

Aku buru-buru mengambil kursi yang diletakkan di sudut ruangan dan menyeretnya hingga ke samping ranjang Riki. "Hari ini aku mendapat pujian dari Pak Deda. Aku juga sudah berhasil berkomunikasi dengan para pasien. Ini semua berkatmu, Terima kasih" ucapku penuh semangat

Riki tertawa tanpa suara. Tangan kanannya bergerak perlahan-lahan. Gerakannya putus-putus di atas papan huruf yang memang khusus digunakan para pasien dengan keterbatasan berbicara. Papan ini membantu mereka berbicara dengan menunjuk huruf-huruf yang mereka inginkan. Aku menunggu dengan sabar setiap kali Riki berbicara menggunakan papan huruf itu. Memang butuh waktu apalagi bagi Riki untuk menunjuk huruf-huruf yang diinginkannya.

"Aku hanya membantumu komunikasi dasar‟ Riki menatapku dan tersenyum sebelum melanjutkan "Begitu saja kau tidak bisa padahal katanya jenius‟

"Hei, kau tidak perlu segitunya meledekku kan" aku merengut dan Riki kembali tertawa, kali ini ada sedikit suara yang terdengar meski berakhir terdengar seperti desahan.

Aku menyelipkan sebagian anak rambutku yang jatuh menempel di pipiku ke belakang telinga. Riki memperhatikan gerakanku lalu menunjuk papan huruf lagi "Rambutmu sudah panjang lagi‟

Aku tersenyum "Iya, aku bingung sebaiknya kupotong atau tidak"

"Tidak ingin mencoba berkerudung ?‟

Aku terdiam "Kenapa tidak terpikirkan olehku ?" gumamku. "Ah, tapi kalau sekarang..." aku merenung, mencoba mempertimbangkan saran Riki "Aku belum siap, sepertinya" ucapku akhirnya. Bagiku berkerudung berarti benar-benar menyerahkan seluruhnya kepada islam. Aku merasa belum siap melakukannya saat ini.

Riki tertawa tanpa suara lalu menunjuk papan hurufnya "Tidak apa-apa. Santai saja‟ Riki menarik nafas sebelum lanjut menunjuk papan hurufnya "Kalau kau ada kesulitan memakai kerudung kau bisa konsultasi dengan Bunga‟.

Aku merengut. Lagi-lagi dia meledekku. Riki menatapku dengan matanya yang melebar menunjukkan ceri hitam mengkilat di matanya lalu tertawa. Bola matanya langsung begulir entah menatap apa lalu menatapku lagi.

Aku tersenyum sedih. Kontrol gerak matanya pun berkurang.

"Hei, kau sudah tidur belum ? Aku akan marah kalau kau tidak cukup istirahat" peringatku dan Riki hanya meresponku dengan senyuman. Aku merasa dia baru saja meledekku dengan senyuman itu.

"Iya ! Aku IBU Dokter sekarang ! Ada masalah ?!" aku menaikkan nada suaraku karena sebal dan Riki spontan tertawa. "Karena sekarang aku Ibu Dokter kau harus mendengarkan semua perkataanku. Tidur dan istirahat !"

Riki manggut-manggut dengan senyum kakunya. Gerakannya terlihat seperti boneka angguk yang ada di dashboard mobil. Aku membantu Riki menyamankan diri dengan bantal di punggungnya dan menurunkan sedikit ranjang Riki.

Riki menatapku dan aku menangkap tatapannya itu sebagai sebuah ucapan 'Terima Kasih'

"Sama-sama" jawabku. Melihat Riki tertawa membuatku lebih tenang. Aku meraih tangan Riki yang ada sisi kiri ranjang dan menggenggamnya erat. Riki menatapku dan tatapannya begitu lembut. Dadaku sesak saat itu juga. Rasanya aku ingin menangis tapi kutahan mati-matian. Aku tersenyum sesaat sebelum Riki menutup matanya dan terlelap.

Soundless VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang