viii. m i s i

2.6K 251 9
                                    

Revisi, 11/12/18



Tresna membuka mulutnya lebar-lebar, tangannya menunjuk Eddy dengan tatapan yang tak kalah terkejut, "Ka- kalo lo angkatan 106, berarti kita sekarang ada di..."

"Yap, bener, abad 22 tahun 2115."

Semua ternganga. Menatap Eddy dengan tatapan-serius lo-. Eddy yang ditatap seperti itu hanya meringis, bingung. "Hm, masalahnya gini loh, kalian masih hidup, tapi, gimana ya jelasinnya, susah."

"Terus?"

"Ya, gue nyoba buat selidikin tentang ini." ucap Eddy, "Kalian juga kayaknya harus mulai terbiasa sama tempat ini-maksudnya, dunia baru ini, dunia baru kalian. Besok gue anter ke butik negara, beli baju, sekalian kalian nge-kos disini aja. Pesen satu kamar buat yang cewek, kalo yang cowok disini ga masalah."

"Makasih banget udah mau bantuin kita. Sebenernya juga kita sama sekali gatau apa yang terjadi." ucap Nissa.

"Dan masalah keduanya gini aja sih, kita kan kesini ga bawa uang." ucap Hafifah, "Apalagi kan sekarang tahun 2115. Pasti keuangan udah melonjak tinggi."

"Kenapa musti bingungin itu? Indonesia kan udah maju. Udah jadi negara dengan pendapatan perkapita tinggi, ga seperti seratus tahun yang lalu. Indonesia payah." jelas Eddy, "Lagipula, fasilitas negara gratis. Kalian bisa memanfaatkan semua yang ada dinegara ini. Besok gue ajak buat keliling Indonesia."

Kluntang! Kluntang!
Suara dering telepon berbunyi, Eddy menoleh kearah jam tangannya. cowok itu menggeserkan sesuatu pada jam tangannya, lalu timbulah hollogram didepan wajahnya. Memutar sebuah gambar seorang cowok yang -sepertinya- seumuran dengannya.

"Apa Sen?"

"Katanya mau ngerjain tugas?" cowok disana terlihat memutar bola matanya.

"Males Sen. Lo aja yang kerjain, sekalian ajak Lisa, dia ga punya temen."

"Halah payah. Jangan-jangan lo ada misi penelitian lagi? Mau nyelametin siapa lo? Sok jadi pahlawan deh."

"Berisik lu Sen. Ganggu aja. Udah sana."

"Halah, eh btw kok kamar lo rame. Siapa tuh?"

"Temen-temen gue."

"Ya siapa?"

"Kepo banget sih lo Sendy! Udah ah!"

"Ck. Pelit, yaudah, gue mau ngerjain dulu. Bayar lo besok disekolah."

"Iye."

Tap! Eddy menekan tombol end, sehingga telepon visual itu terputus.

"Dia siapa?"

"Temen gue, Sendy."

"Tapi ya kalo di liat-liat dia itu mirip sama yang distasiun itu loh!" pekik Adhi.

"Deh iya. Preman tanah abang." sambung Tresna, "Biar aja ntar kalo ketemu gue ruqyah."

"Dia anaknya emang begitu. Udahlah, ga usah mikirin dia. Yang kita pikirin sekarang gimana sama kalian, maunya kalian gimana?" tanya Eddy.

"Gue sih mau ponsel kayak lo, terus baju-baju bagus, pesawat terbang kayak tadi, terus mau nyoba naik kereta express, keliling kota, kenalan sama cowok ganteng, belajar sihir. Ahhhh banyak deh." ucap Hafifah, gembira, tidak tahu diri tentunya.
Semua menatap tajam kearahnya, membuat cewek itu meringkuk seraya menenggelamkan wajahnya pada kedua tangannya. Eddy tertawa menanggapinya.

"Btw, kalian bau banget. Mandi gih. Ga tahan gue." Eddy mengibas-ibaskan tangannya didepan hidung, "Gue mau keluar dulu, mau mesenin kamar kos buat yang cewek. Terus beli makanan." Eddy keluar dari kamar kos.

Where Are We?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang