ii . t i b a - t i b a

4.8K 404 32
                                    

Revisi, 12/07/17

Duar! Suara petir menggelegar membuat semuanya terkaget ketika sesuatu diluar sana mulai terjadi. Pak Sopir diluar sana berteriak dengan kencang membuat semuanya panik. Lalu mereka mengintip lewat jendela dan melihat apa yang terjadi diluar sana.

Pak Sopir itu tergeletak ditanah, tubuhnya hangus tersambar petir yang menggema bersamaan dengan keluarnya Pak Sopir dari dalam Bus. Pria paruh baya itu bergetar hebat. Tak ada yang berani turun untuk membantu. Keadaan pria itu sangat memprihatinkan. Mengerikan lebih tepatnya.

Semuanya hampir bersamaan menggigit bibir melihat mayat yang masih bergetar itu. Fajar Ali mulai nampak menjambak rambutnya. Ia merutuki dirinya sendiri. Pria itu tak sadar apa yang dikatakannya mulai menjadi sebuah kenyataan. Bodoh memang.

Pandu menghampiri Fajar Ali dengan raut wajah yang sulit diartikan, pria berkulit hitam itu pasti ingin marah besar pada Fajar Ali. Yap... benar saja. Buk! Kepalan tangannya mendarat pada bahu Fajar Ali. Membuat Fajar Ali mengaduh.

"Dasar bego lo! Ngapain sih ngomongnya begitu! Tuh jadi kejadian beneran tau nggak?! Siapa yang bakalan ngendarain nih bus! Emangnya ada yang bisa ngendarain bus! Mana mesinnya mogok pula! Kalo punya mulut makanya dijaga kenapa!" emosi Pandu meledak-ledak.

"Ali nih ah! Kalo ngomong."

"Maafin gue! Gue kan nggak tau kalo misalkan bakalan jadinya kayak gini! Lagian kok omongan gue jadi kenyataan mulu! Gue kan juga ga tau. Aduh nih bibir!" Fajar Ali memukul-mukul bibirnya sendiri.

"Lo pukul bibir lo ampe jontor juga nggak bakalan balik lagi semuanya!" omel Ariska.

Fajar Ali menghentikan aktivitasnya. Kepalanya tertunduk menyesali apa yang terjadi.

"Udah woy. Sekarang jadinya gimana?!" Kak Irham mengangkat suara.

Hujan diluar semakin lebat, bahkan jika mengintip lewat jendela pun tidak dapat terlihat apa-apa karena volume air yang amat banyak. Udara di dalam mobil terus mendingin. Semuanya diam tak bergeming, sibuk dengan keheningan yang melanda.

"Eh saya nanya loh." Sambung Kak Irham.

"Ya... kita juga bingung Kak. Emangnya Kakak bisa bawa bus? Nggak bisa kan."

Kak Irham menggeleng. Kemudian ia tertunduk pasrah dibelakang kemudi yang kini tak ada lagi sopirnya.

"Hanya ada dua pilihan." Tiba-tiba Hafifah bersuara.

Semua meoleh dan serentak menjawab, "Apa?"

Hafifah menatap teman-temannya yang sudah penasaran, "Pertama... Kita nekat bawa pulang ini bus."

"Gila ya lo! Ntar pada kecelakaan, terus mati semua gimana?" Fajar menyeletuk disertai tatapan tidak setuju.

"Ya setiap resiko pasti ada lah, Jar. Terus yang kedua..." Hafifah menarik nafas untuk melanjutkan kata-katanya, sementara yang lain menyimak. "Kita mulai hidup disini..."

Semuanya terdiam mendengar ide terakhir. Ide kedua sama gilanya, namun yang kedua mungkin mendapat pertimbangan.

"Gue ada ide!" Celetuk Avisena. "Gimana kalo kita telepon kesekolah kalo nggak kerumah. Terus kita kasih tau semuanya. Dan ada kemungkinan bakalan dijemput kesini."

Where Are We?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang