Would you?

795 14 2
                                    

****

Seakan seperti mimpi indah, Nino yang terbangun dari tidurnya langsung mencek handphonenya. Dia mencek siapa yang terakhir meneleponnya malam tadi. Senyumnya pun mengembang.

Benar, dalam hatinya.

Citra yang meneleponnya.

Citra, mantannya yang sangat dia sayangi sampai sekarang. Saking cintanya, Nino bahkan tidak ingin mendekati perempuan lain kecuali Citra Amelia. Sang bidadari yang sudah melekat dihatinya, katanya.

Awal kisah dari putusnya hubungan mereka adalah saat Nino mengajak saudara sepupunya ke rumah Citra. Niatnya, Nino ingin memperkenalkan saudara sepupunya yang bernama Shanna dengan Citra. Tapi, kenyataan berbalik, Citra malah menampar pipi Nino dan memarahinya habis-habisan tanpa mendengarkan penjelasan Nino.

'Pokoknya kita putus!!' kalimat itu terngiang di kepala Nino bertahun-tahun. Hampir membuatnya gila dan hampir membuat Ben ingin menelepon rumah sakit jiwa terdekat karena Nino selalu mengomel tanpa alasan jelas di apartemennya.

Namun sekarang, hal itu tidak lagi terjadi. Nino sekarang agak lega saat mantan tercintanya itu meneleponnya tadi malam. Dia sekarang duduk di sofa, sedang menatap layar handphonenya dengan senyuman yang membentang.

"Citra.. Citra.. Lo bidadari paling terindah yang pernah diciptakan oleh Tuhan..." gumam Nino di sela senyumannya. Padahal rambutnya masih acak-acakkan karena habis terbangun.

Nino menatap layar handphonenya yang terdapat foto-foto Citra dan dia saat mereka masih dalam hubungan 'special' itu. Di foto itu, mereka terlihat sangat dekat. Saling berpegangan tangan, saling memeluk, saling berpandangan, saling menatap, dan saling tersenyum, semuanya tampak indah, pikir Nino.

Ben pun keluar dari kamarnya dengan bajunya yang lusuh. Wajahnya yang tampan sehabis bangun tidur, akan dianggap lucu bagi tetangga-tetangga perempuannya yang satu gedung dengannya. Ben pun ke dapur, membuka kulkasnya lalu mengambil sekotak susu vanilla dan cereal, meletakkannya ke atas meja makan. Dia mengambil mangkuk ukuran sedang dan sebuah sendok. Ben pun menuangkan setengah cereal tadi lalu susu vanilla ke dalamnya.

Ben mungkin terlihat gagah. Ben mungkin terlihat jaim. Namun, dia tak akan berpaling dari sarapan paginya itu. Walaupun Nino pernah menyebutnya 'si Anak Cereal', dia fine-fine saja.

I don't care, katanya.

Ben pun berjalan ke ruang keluarga dengan membawa semangkuk cereal di tangannya. Di sofa, sudah ada Nino yang cengar-cengir sendiri seraya menatap layar handphonenya. Saat Ben berdiri di samping sofa, dia langsung merebut handphone Nino. Nino spontan ingin mengambilnya. Namun, Ben mengangkat benda itu ke udara agar tidak terjangkau oleh Nino.

"Eh, eh, eh, balikin handphone gue! Ngapain lo ambil-ambil handphone gue!?" kata Nino sambil berusaha menjangkau tangan Ben yang ke atas.

Badan Ben cukup tinggi bagi Nino.

"Hahaha...! Coba aja ambil!" ejek Ben. Dia pun langsung menatap layar handphone Nino yang menampilkan foto Nino dengan Citra yang saling berpegangan tangan. Dengan background berupa taman yang hijau dan gunung yang membentang.

Nino pun menggaruk-garuk kepalanya tanda menyerah.

"Ciieee... foto Citra yang dipamerin. Wah! Lo sama dia waktu itu, dimana nih?" kata Ben seraya meletakkan mangkuk cerealnya di atas meja yang ada dihadapannya, lalu duduk di samping Nino dengan mata yang masih menatap ke layar Hp Nino.

Nino memasang ekspresi pasrah.

"Waktu itu, gue ajak dia ke Bandung. Jalan-jalan bentar doang, kok. Lo yang ke Bandung kemarin sama Melissa aja, gue gak larang..." Kata Nino.

Next To MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang