Honesty

60 3 0
                                    

Next to Me
Honesty

"Jadi, gimana dok?"

"Kankernya semakin menyebar dan menyebabkan frakturnya harus segera ditangani sebelum terjadi komplikasi..."

Pernyataan itu semakin membuat Ben menghela napas berat. Pasalnya, tiga hari setelah Ravel mengunjungi mereka, kondisi Melissa kian memburuk. Seolah-olah penyakit yang Melissa alami kini tengah mempermainkan dirinya. Alat-alat kemo kembali dipasangkan ke tubuh gadis itu. Rambut pirangnya juga turut menipis hari demi hari. Melissa menolak jika rambutnya dicukur habis. Alasannya, dia ingin melihat dirinya botak secara alami walau di dalam hati malah membuatnya semakin depresi. Tubuh gadis itupun kian mengurus. Walau sesekali Melissa kehilangan nafsu makan dan memuntahkan isi perutnya, Ben tetap bersikeras agar gadisnya memakan makanan sedikit demi sedikit. Ditambah lagi masalah biaya yang harus segera dilunasi.

Kini Ben hanya bisa duduk di samping Melissa yang terbaring. Menutup mata, berharap semuanya hanya mimpi. Berharap bahwa kini dia berada di dimensi lain bersama Melissa dan sedang berbahagia.

Di sela-sela waktu ia berpikir, terdengar suara ketukan pintu dari luar ruangan. Ben tidak tahu siapa yang datang berkunjung. Setahunya, Nino akan datang ketika jam besuk hampir habis. Dua kali ketukan di pintu membuat Ben berdiri dan membukakan pintu untuk orang itu.

Setelah tahu siapa yang ada di balik pintu, Ben terkejut saat mendapati satu-satunya keluarganya, datang tanpa ada kabar terlebih dahulu.

"Om Danu?" Ucap Ben yang hanya berdiri di tempatnya.

"Ben. Boleh Om masuk?" Tanya pria bersetelan hitam dengan sepatu yang berwarna senada.

"Bo-boleh kok, Om. Silakan masuk!" Ucap Ben dengan kaku. Karena baru kali ini Ben bertemu dengan orang yang sempat berperan dalam hidupnya itu. Pria berkumis tipis itu masuk ke dalam ruangan sebelum Ben menutup pintu kembali. Memang benar apa yang dikatakan oleh Citra. Ben bahkan baru kali ini melihat pamannya itu memiliki kumis tipis.

Suasana yang canggung melingkupi kamar inap Melissa. Ben menatap Danu yang sedang melihat ke arah Melissa.

"Namanya Melissa, Om. Di-dia pacar aku. Dan dia-"

"Ya, Om tahu." Sela Danu sambil melirik ke arah Ben. "Om juga tahu kalau dia sekarang tinggal sama kamu dan Nino, kan?"

Ben terlihat bingung hendak menjawab apa. Dia bahkan tidak berani menatap kedua mata Danu. Aura di dalam ruang inap kini sangat canggung dan juga dingin. Setelah berpikir, Ben hanya bisa mengangguk mengiyakan. Karena tak mungkin pula ia mengelak. Ben juga bingung siapa yang memberitahukan hal itu pada pria bertubuh tegap yang sedang berdiri kaku di tempatnya. Mungkin Nino. Mengingat nama anak itu, Ben merasa hendak menghubungi pemuda itu sekarang juga dan memarahinya. Namun, Ben juga tidak meminta Nino untuk tutup mulut sebelumnya. Ya, Ben benar-benar sudah 'tertangkap basah' oleh Pamannya sendiri.

Danu hanya bisa menghela napas di tempatnya. "Kenapa kamu tidak memberitahukan Om tentang ini?"

"Ben minta maaf, Om. Ben mau bilang ini ke Om sebelumnya soal Melissa tapi-"

"Bukan itu maksud Om, Ben!" Sela Danu yang membuat Ben bingung.

"Maksud Om?" Tanya Ben.

"Kenapa kamu tidak memberitahukan Om tentang pertunangan kamu dengan Amanda?" Tanya Danu yang membuat Ben semakin bingung. Amanda?

"Aku gak ngerti maksud Om itu apa," jawab Ben yang masih berdiri menghadap Danu. "Hmm.. lebih baik kita bicarakan di luar saja, Om. Takutnya nanti mengganggu."

Ben dan Danu keluar ruangan dan mereka duduk di kursi tunggu. "Om mendapatkan kabar dari Haryanto Group kalau salah satu penerusnya bernama Amanda sudah bertunangan dengan anak Colin Brynes."

Next To MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang