Keep The Secret

521 18 1
                                    

Next To Me- Keep The Secret

Melissa's POV

Apa aku bisa bertahan hidup mengingat aku yang sedang sakit parah?

Apa semua orang akan mengerti jika aku lebih memilih tiada daripada melihat mereka menangisiku?

Aku adalah Carol. Nyanyian gembira yang seharusnya bisa membuatku gembira. Membuat semua orang juga gembira. Aku tak ingin melihat mereka meneteskan air mata dengan sia-sia hanya karena aku akan terbaring lemah di ruang operasi nanti - itupun jika aku bisa bertahan hidup sampai pelaksanaan operasi. Aku adalah perempuan yang kuat. Aku selalu mengatakan itu pada diriku sendiri. Aku juga seorang perempuan yang tidak merasa kesepian karena ada dia yang selalu menemani. Walau sebersit keraguan juga ada di pikiranku mengenai dirinya. Tapi, kukatakan pada diriku,

Bahwa aku tak akan sendiri.

Ini sudah kemoterapi yang ketiga.  Semakin banyak cairan kimia yang masuk ke dalam tubuhku, semakin banyak helaian rambutku yang berguguran di ubin. Selama kemo, aku belum memberitahukan penyakit ini kepada kakakku sendiri - lebih tepatnya kakak tiri -, Kak David. Aku juga belum memberitahu Ben bahwa aku dan Kak David bersaudara tiri. Sejujurnya, terlalu banyak rahasia yang kusimpan sendiri. Dan sejujurnya, rahasia bisa membuatku 'mati'.

Ben semakin dekat denganku. Ia selalu menjagaku dan memastikan bahwa aku aman di sampingnya. Seumur hidupku, aku baru bisa merasakan kebahagiaan saat penyakit merayap di tubuhku. Menggerogoti tulang belakangku hingga aku merintih kesakitan setiap pagi. Mengeluarkan sarapan pagiku dari perut yang seharusnya mengenyangkan nafsu makanku. Membuatku trauma untuk melihat sarapan pagi yang selalu dibuatkan Ben untukku. Obat-obatan pun tak cukup bagi penyakit ini. Kantung mataku pun semakin terlihat. Akibat terjaga semalaman sambil merasakan sakit yang tertahan di tulang belakangku.

Namun, aku harus tetap bertahan. hanya itu yang bisa dipesankan semua orang padaku;

'Kau harus tetap bertahan'.

Empat jam setiap hari kuhabiskan dengan duduk tak berkutik. Sedangkan alat-alat kemo melingkar di tanganku, mengalirkan cairan kimia bening yang katanya dapat membantuku melewati penyakit ini -walau hasilnya hanya lima puluh persen. Setelah suster berseragam putih itu melepaskan alat-alat kemo, aku dan Ben berpamitan pada Celine dan Ibunya. Seperti biasa, Ben pasti akan mengajakku ke suatu tempat. Entah itu taman bunga, restoran kecil sampai restoran mewah, atau perpustakaan kota yang menyediakan ribuan buku tebal hingga berdebu. Aku agak terhibur dengan kehadiran Ben dan kesediaannya untuk tetap berada di dekatku. Jujur, laki-laki ini sudah membuatku jatuh hati padanya setiap hari.

"Here!" Ujarnya seraya memberikan sebuket bunga Peony merah jambu yang harumnya semerbak saat aku mengambilnya.

"Thank you!" Ucapku.

Kebahagiaan. Itulah makna yang dapat kutangkap saat melihat bunga Peony ini. Suatu isyarat yang ditujukan padaku darinya. Yang menyarankanku agar selalu bahagia walau berbagai kesedihan menghujaniku. Dia sengaja mengajakku ke toko bunga. Karena sudah lama aku tidak mencium aroma harum semerbak dari sebuah bunga. Dan dia membelikanku bunga Peony yang indah.

Ben pun mengajakku pulang dan aku hanya menurutinya. Buket bunga itu kuletakkan di pangkuanku saat duduk di kursi penumpang yang ada di sampingnya. Kami pun dalam perjalanan pulang.

Lima belas menit kemudian, hp milik Ben berdering. Dengan satu tangan, ia merogoh sakunya sambil mata fokus ke jalanan yang lumayan licin akibat hujan beberapa jam yang lalu -saat kami berada di dalam rumah sakit. Dia menjawab telepon itu. Aku sedikit khawatir jika terjadi apa-apa saat dia menjawab telepon itu.

"Hai, Amanda! Ada apa?" Ucapnya di telepon. Rupanya itu Amanda, yang katanya perempuan itu adalah sahabat Ben sejak sekolah menengah pertama.

Satu tangannya memegang Hp, sedang satunya lagi menyetir. Mengendalikan roda-roda yang berjalan di jalanan yang basah. Mereka -Ben dan Amanda- saling bertanya jawab layaknya interview di dalam saluran telepon itu. Entah apa yang mereka bicarakan. Namun, dari raut wajah Ben, telepon itu sangat penting baginya seperti jika tidak diangkat, ia akan mati di tempat.

Next To MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang