"Where are you, Ben?"
kalimat itu selalu diucapkan Melissa yang gelisah di halte. Hari sudah mulai sore dan matahari sudah mulai tenggelam. Memang sudah lama sekali dia menunggu di halte dan mengabaikan 5 bus yang singgah, serta mengabaikan lebih dari 5 orang tukang ojek yang dengan senang hati, ingin mengantarkan Melissa pulang.
Tapi, dia tak mau.
Melissa tetap bersikeras menunggu Ben yang tak kunjung hadir. Mana mungkin Ben lupa, pikirnya.
Melissa takut, jika dia pulang dengan yang lain, dan akhirnya Ben juga menjemputnya, pasti Ben marah besar kalau dia tak bilang-bilang terlebih dahulu kepadanya.
Dari wajahnya, gadis itu memang ingin marah. Tapi, dia tak bisa menampilkan kemarahannya. Karena jika dia marah, pasti akan ada sesuatu yang terjadi padanya.
Lama. Lama sekali setelah itu, terdengar suara klakson mobil yang sangat ia kenali. Lalu, mobil itu pun parkir di depan halte. keluarlah pemuda bertubuh tegap dan berkulit putih, menghampiri Melissa dengan wajah menyesal.
"Ya Tuhan, maafkan aku! Melissa, maafkan aku! tadi aku ada urusan yang sangat penting sehingga tak bisa kubatalkan. Maaf... Maaf sekali...!" ucap Ben dengan wajah menyesal seraya memegang kedua lengan Melissa yang sudah kedinginan.
Melissa hanya menanggapinya dengan senyuman tulus.
"Gak apa-apa, kok. Yang terpenting, kamu gak lupa sama aku, ya, kan? Ayo, kita pulang!" tanpa menunggu jawaban dari Ben, Melissa langsung melepaskan pegangan Ben lalu masuk ke dalam mobil yang tadi terparkir.
Ben pun mengikutinya dengan masuk ke kursi kemudi. Mereka pun pulang ke apartemen Ben.
~~
Di sepanjang perjalanan mereka, Ben berusaha untuk menghangatkan suasana. Tapi, alhasil, hanya ada anggukan dan senyuman lemah dari Melissa. Ben yang menjadi lawan bicaranya hanya bisa tersenyum balik.
Dia merasa bersalah.
****
Malamnya, semua tampak asyik dengan kegiatan sendiri di apartemen Ben. Nino asyik dengan playstationnya, Ben yang asyik dengan buku-buku novelnya dan Melissa hanya mengurung diri di kamar.
Pandangan Ben memang ke arah bacaan yang ada di novel yang ia pegang. Tetapi, pikirannya sedang memikirkan bagaimana caranya agar bisa membuat kekasihnya itu keluar dari kamar. Kadang, Ben juga khawatir dengan Melissa.
Karena kehadiran penyakit yang diderita Melissa, tentunya.
"Eh, Ben, Melissa kenapa? Kok, dari tadi gak keluar kamar? Gak laper tu anak?" tanya Nino tanpa memandang ke arah Ben yang sedang duduk di sofa.
Ben pun menghentikan bacaannya.
"Gak tahu tuh. Mungkin, dia kelelahan karena kemoterapi tadi. Biarin aja dia istirahat di kamar. Napa sih lo, ngurusin pacar gue melulu?" jawab Ben dengan berkerut kening.
"Eciee, yang cemburu karena gue perhatian sama pacarnya. Eh, gue itu kasian sama dia. Jauh-jauh datang dari NY, hasilnya cuman dapat penyakit parah. Ckckck... salah apa sih dia, sampai diberikan penyakit parah kaya gitu..." ucap Nino dengan pandangan masih ke layar tv dan tangannya masih memainkan stick game.
Ben pun merenungkan apa yang dibicarakan Nino tadi.
Benar, pikirnya.
Selama beberapa tahun di Columbia bersama Melissa, dia tak menyadari bahwa perempuan yang sekarang menjadi kekasihnya bisa mendapat penyakit yang lebih parah daripada penyakitnya sendiri yang hanya sekedar pusing kepala karena asam lambung yang meningkat. Itupun ada obatnya dan sedangkan penyakit Melissa, nihil.
Dia merekam ulang semua kejadian saat mereka masih di Columbia. Tapi, dia tak sama sekali melihat Melissa menunjukkan tanda-tanda sakit parah. Padahal dia sudah sering bertemu dengannya hingga nekad 'men-stalk' perempuan itu kemana-mana tanpa gadis itu sadari.
"Gak tahu, deh. Selama di NY, gue gak pernah tuh, dengar bahkan ngeliat Melissa sakit parah sampai harus di kemoterapi..." ucap Ben.
"Hmm... kalau boleh tahu, Melissa punya keluarga disini, gak sih?" tanya Nino seraya menghentikan permainannya sebentar hanya untuk berpaling menghadap Ben.
"Hmm... gue kurang tahu soal itu. Yang gue inget cuman, dia punya kakak tiri di Indonesia. Tapi, gue juga gak tahu siapa kakak tirinya itu dan apakah dia masih hidup sampai sekarang..." jawab Ben sambil menyandarkan belikatnya ke badan sofa.
Teringat kembali, saat pertama kali dia bertemu Melissa di perpustakaan dan saat dia membantu mengambilkan buku yang tebal untuk gadis itu. Pandangan pertamanya dengan gadis itu, membuatnya tak bisa fokus ke pelajaran.
Membuatnya harus menahan rasa keingintahuannya tentang gadis itu lebih dalam.
Semua momen itu tampak indah dan tergantikan oleh momen ketakutan saat mereka mengetahui penyakit yang diderita Melissa.
~~
Dengan langkah ragu, Ben mendekati pintu kamar Melissa dan berusaha memutar knop pintu kamar itu. Membuatnya menahan napas untuk beberapa saat.
Krekk!
Ternyata pintu kamar Melissa tak terkunci sehingga Ben dapat masuk ke dalam kamarnya.
Dari tempatnya berdiri, Ben melihat Melissa yang sudah tertidur lelap dengan bekas aliran air mata di kedua pipinya. Wajah gadis itu sudah mulai pucat akibat kemoterapi pertama.
Ben juga melihat sebuah handphone di genggaman tangan Melissa yang tak bergerak. Melihat itu, Ben melangkah, mendekati kekasihnya lalu mengambil perlahan handphone tersebut dari tangan Melissa dan meletakkannya ke atas meja.
Ia pun duduk di samping Melissa yang tertidur pulas. Raut wajah gadis itu tampak damai saat tidur, dan itulah yang Ben sukai.
Dia pun menyingkirkan beberapa helai rambut yang menghalangi wajah Melissa, dengan hati-hati. Tak ingin membangunkan sang gadis. Kemudian, Ben menyelimutinya serta tak lupa membisikan kata 'Good Night!' di telinganya.
I'll give you my love,
and you'll take it...
♡♡♡
_________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Next To Me
RomanceBen Bryan, salah satu seorang mahasiswa yang terpilih untuk berkuliah di Universitas Columbia. Disana, dia bertemu dengan Melissa Carol, seorang gadis berasal dari New York yang sangat menyukai sejarah. Karena Ben, Melissa merasa tertarik untuk perg...