"Aya ingin berangkat ke sekolah bareng Kira. Aya gak mau belajar sendirian di rumah" Aya berteriak kepada ibu sore itu sambil menarik celana bludru bercorak bunga yang di kenakan ibu sore itu.
"Aya dengar! Mama gak mau ambil risiko, Ini hanya sementara sampai dokter mengizinakanmu beraktivitas seperti biasa lagi." Dengan lembutnya ibu mengusap kepala Aya sembari merayunya.
"Tapi, Aya bosan belajar di rumah terus. Lagi pula sudah seminggu lebih Aya tidak mendapatkan serangan mendadak. Aya sudah baik-baik saja, Mam."
"Iya, bu. Aya sudah terlihat jauh lebih baik dari sebelumnya"Aku ikut membela Aya yang terlihat begitu kesepian sendirian di rumah selama ini. Aya melihatku , mengangguk dengan cepat sembari tersenyum.
"Kira Diam!" Ibu mulai sedikit berteriak tanpa melihat kearahku, dimana ini membuatku begitu takut dengannya. Aku hanya bisa terdiam membeku mendengarnya, seketika Aya terlihat sama ketakutannya sepertiku.
"Aya, Mama janji kamu akan berangkat sekolah lagi bareng Kira. Tapi tidak untuk saat ini. Mama harus benar-benar yakin kalau kira sudah jauh baik dari sekarang" Berbeda. Nada suara Ibu selalu terdengar berbeda saat beribicara denganku dan Aya. Tiba-tiba ada rasa sakit seperti benda tajam menusuk di dada. Sebelum aku bisa merasakan lebih jauh perasaan menyakitkan ini, dari belakang Ayah menggendongku dan memelukku erat dalam dekapan hangatnya. Ia membawaku menjauh tanpa berkata apapun.
***
"Kira"
"Hmm...."
"Aya benar-benar ingin kesekolah," ucap Aya dengan nada yang terdengar begitu pilu. Aku hanya bisa menerjapkan mataku memandang langit-langit kamar yang gelap karena lampu sudah di padamkan, "Aya rindu dengan teman-teman, rindu suasana kelas, rindu bermain dengan Kira dan yang lainnya." Aku mendengarkannya dalam diam.
"Kira..."
"Hmm...."
"Tadi sore papa ajak Kira kemana?"
"Ke taman depan melihat anak-anak main layangan," jawabku dengan jujur tanpa berkata hal lain.
"Pasti menyenangkan," Balasnya. Aku diam mendengarkannya, ia pun terdiam. Malam itu terasa begitu sepi. Aku mencoba memejamkan mataku, tapi pikiranku terasa gusar tidak bisa tidur.
"Apa Aya benar-benar ingin ke sekolah?" tanyaku mencoba memecah rasa sepi yang menyelimuti kamar kami berdua.
"Sangat teramat ingin ke sekolah," jawabnya tanpa ragu. Berbeda denganku yang mulai merasa ragu akan apa yang aku ucapkan selanjutnya.
"Mau bertukar tempat denganku, besok?" mendengar penawaranku, Aya segera bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan mendekat kearah kasurku.
"Benarkah?" agak ragu aku menganggukan kepalaku. "Mau.... Aya Mau~" jawabnya dengan riang gembira. Dengan sigap aku menaruh jari telunjuk ke mulutku sendiri memintanya untuk tenang.
"Tapi ada syaratnya!" lanjutku. Aya mengangguk cepat tanpa bersuara dengan wajah bahagianya. "Pertama, jangan bilang pada siapapun tantang hal ini. Papa, mama,teman-teman atau lainnya. Kedua, harus bawa obat dan apapun yang terjadi harus meminum obat tepat pada waktunya seperti yang dianjurkan dokter." Kali ini Aya mendegarkanku dengan saksama seperti yang ia lakukan saat mendengarkan guru ketika menerangkan pelajaran.
"Dan yang terakhir untuk kita berdua," kita mengucapkannya kalimat terakhir bersamaan dengan pelan, seperti ritual wajib sebelum melakukan tukar tempat seperti sebelumnya, "Harus bersikap, berprilaku dan berkata berbeda seperti yang kita lakukan. Aku menjadi kamu, kamu menjadi aku." Setelah mantra terucap dengan benar, kami hanya bisa tertawa satu sama lain. Aku pun berbagi tempat tidur dengan Aya malam ini.
***
"Apa kamu sudah yakin?" tanya Kira dengan was was masih menggenakan piyama. Dengan senyum ceria sambil menggenakan baju putih merah yang sudah beberapa minggu tidak dia kenakan.
"Say...Aku yakin 100%" jawabnya setelah membetulkan cara bicaranya.
"Harus ingat kamu nanti masuk ke kelas 5-5, bukan kelas 5-1. Terus kamu duduk sebelah Della. Taukan yang rambutnya keriting dan suka di kuncir dua." Tanpa menjawab ucapan Kira, Aya memeluk hangat saudaranya sembari mengucapakan terima kasih pelan di dekat telinganya.
"Aya... Aku berangkat dulu ya!" teriaknya sambil berjalan cepat keluar dari kamar. Kira berasa aneh meilhat saudaranya seperti itu. Dia benar-benar hebat dalam hal menirunya. Ia hanya bisa tersenyum geli di dalam kamar saat saudaranya keluar kamar.
============
*Jangan lupa Komennya yah, Karena sangat membantu untuk kelanjutannya
K.S.
KAMU SEDANG MEMBACA
69 ✔
Teen FictionQuality: Raw Rate: 15+ Status: 16 to 16 (completed) Started: February 23, 2016 End: April 25, 2016 69, Kita ini bagaikan angka 6 dan 9. Bentuk mereka sama tapi sebenarnya mereka berbeda. Tapi mereka tetap satu kesatuan dari sebuah angka. Seperti kit...