Hening. Itu yang bisa aku diskripsikan akan suasana yang terjadi saat ini. Canggung, pastinya. Rangga saat ini duduk tepat di depanku di atas sofa single di apartemennya. Sedangkan aku bersandar sambil menyilangkan tanganku di dada pada sofa panjang miliknya. Entah sudah beberapa kali aku menyilangkan tanganku malam ini, tidak di depan Brandon maupun Rangga.
"Aya di bully di sekolahnya." Katanya tiba-tiba memecahkan kesunyian malam.
"Aku tahu dan aku merasakannya saat ini." Jawabku datar.
"Ia datang padaku malam itu." Aku menatap lekat ekspresinya yang tidak terbaca karena wajahnya saat ini menunduk menatap meja diantara kami berdua. "Wajahnya yang cantik terlihat pucat, badannya gemetar. Ya badannya terlihat begitu kurus dari terakhir aku melihatnya."
Seketika aku mengingat sosok Aya yang berdiri di depan rumah dengan membawa koper besarnya. Badannya saat itu memang lebih kurus dari biasanya, wajahnya terlihat begitu murung dan suram sampai aku tidak mengenali sosok didepanku yang memiliki wajah yang sama sepertiku. Aku menelan ludahku menanti ceritanya.
"Dia datang tak lama setelah aku memberitahunya, kalau aku ada di Jakarta untuk mengurusi kuliahku disini. kamu ingat waktu aku menghubungi dan kamu marah-marah karena aku menggangumu yang sedang berbicara dengan Aya? Malam itu Aya datang, ia ada di depan pintu apartemen ini," Rangga menghembuskan nafas panjang sambil mengusap wajahnya sendiri, "Ia tiba-tiba memelukku dan menangis dalam dekapanku." Lanjutnya sambil menatap kedua tangannya terbuka lebar yang saat ini ada di pangkuannya.
"Dia meminta tolong padaku setengah memohon. Memohon untuk membantunya melupakan semua. Melupakan tangan kotor yang menyentuhnya. Aku tidak tahu apa maksud dari perkatannya saat itu,"
"Semua terjadi begitu saja. Aku tidak tahu apa yang aku lakukan dengannya saat itu," Rangga diam untuk mengambil nafas. Aku bergidik ngeri membayangkan dan mencerna setiap katanya. Perutku serasa mual, dadaku terasa ditusuk dan pikiranku melayang entah kemana saat ini.
"Ia menangis Kira. Ia menangis lagi. Ia bercerita sambil menangis." Rangga menusap wajahnya kembali dan menyisir rambut dengan jemarinya. "Ia mengatakan semua kepadaku, bagaimana mereka melecehkannya, mempermaulkannya dan menghancurkan dirinya."
"Aku ingin memberitahumu. Sungguh aku ingin memberitahumu," kata Rangga sambil menatapku dengan tatapan yang begitu menyakitkan. Aku menutup rapat mulutku, rahangku terasa kaku saat ini. Aku ingin berteriak, ingin memukul dan berlari keluar saat ini, tapi aku coba menahan semua. Aku ingin mendengarkannya sampai selesai.
"Aya melarangku. Bahkan saat kita bermain di di carnival, aku meminta Aya untuk memberitahumu tetapi dia bersikukuh untuk tidak memberitahumu. Dia bilang dia tidak ingin membuatmu khawatir, marah dan sedih karena dirinya lagi. Dia ingin melupakan semuanya dan memulai hal yang baru denganmu. Aku percaya padanya. Aku menghormati keputusannya itu."
"Tapi, aku benar-benar tidak menyangka akan berakhir seperti ini." Rangga mendesah panjang sembari mencangkup wajahnya sendiri dengan kedua tangannya, seakan ia ingin bersembunyi.
"Kamu dan Aya melakukannya?" tanyaku seketika saat berhasil mencerna semua ucapannya. Namun yang kudapat hanya keheningan dan rasa dingin yang menusuk kedalam tulangku.
"Brengsek! Selama ini aku mencari lelaki keparat yang membuat Aya hamil dan ternyata si keparat itu ada di sekitarku." Ucapku penuh dengan penekanan disetiap kata.
"Apa maksudmu?" Rangga mendongakkan kepalanya dan menatapku tak percaya dengan apa yang ia dengarnya. Aku berdiri mendekat kepada Rangga dan melayangkan tinjuku tepat di wajahnya.
"AYA HAMIL BODOH! AYA HAMIL!" Teriakku yang saat itu meraih kerah baju Rangga dan menariknya mendekat menatapku. Entah karena rasa sakit di dada atau rasa sakit di tanganku karena meninjunya, Air mataku mulai membasahi pipi.
Rangga Menatapku dengan tatapan tak percaya dan bersalah, mulutnya terbuka dan aku bisa melihat darah keluar di sudut mulutnya. Rangga adalah satu-satunya orang terdekatku yang tidak aku beritahu akan keadaan Aya yang sedang hamil. Aku tahu dia begitu menyukai Aya, aku tidak ingin menyakitinya. Menyakiti temanku,orang yang dapat aku andalkan. Sahabat dekatku.
"Bodoh! Kamu bodoh Angga! Kenapa kamu menyembunyikannya! KENAPA! KENAPA???!" Aku menggoyangkan tubuhnya yang mana masih aku cengram kuat kerah bajunya. Rangga hanya bisa diam membiarkanku mengguncang tubuhnya dan sesekali memukul dadanya.
"Maaf.... Maaf... Maaf....."
Dengan suara beratnya yang terdengar pilu, Rangga mengulang kata-katanya. Aku bisa melihat saat ini air mata mulai jatuh dari pelupuk matanya. Hatiku terenyuh, aku ingin memeluknya saat ini. Tapi aku tidak bisa, aku tidak sanggup melakukannya. Aku terlalu marah saat ini. Aku tidak ingin melihatnya. Tidak untuk saat ini. Aku harus pergi, ya Aku harus pergi dari tempat ini.
Tanpa kata dan ucapan perpisahan, aku melangkahkan kakiku pergi dari tempat ini. Setengah berlari aku keluar dari gedung ini dan berlari dengan cepat di jalanan sepi malam itu. Aku tidak memperdulikan teriakan orang-orang yang aku tabrak saat berlalu lalang di pinggiran jalan. Aku berhenti di ujung lampu lalu lintas yang dipenuhi orang yang ingin menyebrang. Dadaku naik turun seperti aku habis berlari marathon , aku memandang sekeliling orang-orang yang memperhatikanku dengan tatapan aneh, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku hanya bisa meringkuk kebawah, berjongkok dan menyembunyikan wajahku di antara pahaku.
Ya tuhan, apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang harus aku lakukan?
***
Di tempat lain, Olivia keluar dari mobil merahnya dan membanting keras pintunya, seketika dia menginjak trotoar. Ia menekan layar ponselnya dan meletakkan benda persegi panjang itu di ekat telinganya.
"Ada yang ingin aku bicarakan. Aku didepan rumahmu, cepat buka pintunya!" Kata Olivia setengah memerintah kepada seseorang di sebrang sana.
Tak lama, pintu pagar dari rumah yang didatangi Olivia terbuka. Seorang perempuan dengan tubuh kecil dan rambut hitam panjangnya keluar dari balak pintu pagar dan menatap kesal kea rah Olivia yang menghampirinya tengah malam seperti ini.
"Apaan? Cepet kalau mau ngomong. Ngantuk!"
"Brandon sudah tau mengenai video itu dan dia mengintrogasiku semalaman ini. Kita harus melenyapkan perempuan murahan itu." Ucap Olivia menggebu-gebu dengan mukanya yang agak memerah.
"Kamu memberitahunya?"
"Tidak. Tentu saja tidak. Bunuh diri itu namanya."
"Baguslah. Aku ada rencana tapi kita butuh dua kunyuk itu untuk melakukannya." Ucap perempuan itu dengan yakin. Ia pun mendekatkan wajahnya ke Olivia dan membisikan sesuatu di telinganya.
"Kamu serius melakukannya?" ucap Olivia tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Perempuan itu tersenyum sinis dan mengangguk penuh keyakinan.
"Kamu ikut apa tidak?"Olivia hanya bisa menelan ludahnya sambil mengimbang-imbang keputusannya akan rencana yang barusan ia dengar. Perempuan didepannya saat ini menatap tajam yang mengintimidasi.
"Aku ikut!" Perempuan itu pun tersenyum penuh kemenangan dengan jawaban Olivia.
Tunggu saja. Aku akan menghancurkanmu seperti kau menghancurkan kesempatanku!
***
Mau ngomong apa? Gak tau. Stress? ia stress banget malah.
Kalau boleh jujur, saya mau kasih flashback pas Aya dateng ke Apartement Rangga, tapi saya urungkan karena saya ingat ini cerita remaja bukan dewasa. hahahahaha..... Jadi Big NO!!Selamat membaca aja, jangan lupa komennya ya dengan ceritaku yang mau kelar dan bikin galau.
Salam,
K.S.
KAMU SEDANG MEMBACA
69 ✔
Teen FictionQuality: Raw Rate: 15+ Status: 16 to 16 (completed) Started: February 23, 2016 End: April 25, 2016 69, Kita ini bagaikan angka 6 dan 9. Bentuk mereka sama tapi sebenarnya mereka berbeda. Tapi mereka tetap satu kesatuan dari sebuah angka. Seperti kit...