8. Old Games

3.1K 297 12
                                    

Sejak dahulu yang namanya hari senin adalah hari paling menyebalkan bagi semua orang karena itu adalah hari pertama dalam memulai aktivitas setelah libur diakhir penan. Tapi hari senin kali ini merupakan hari pealing menakutkan bagiku. Aku berdiri diam di depan pagar sekolah Aya setelah pak Parmin, supir pribadi menurunkanku tepat didepan sekolah. Memandang sekeliling gedung sekolah yang begitu besar bahkan 3 kali lipat lebih besar dari gedung SMA ku, aku merasa asing dan sedikit ngeri. Ini bukan pertama kalinya aku disini. Beberapa hari yang lalu aku ikut dengan Ayah saat meminta bantuan kepala sekolah disini, saat itu aku merasa takjub dengan keindahan sekolah ini. Namun saat ini sekolah indah nan megah terasa seperti rumah hantu bagiku. Aku tidak mengenal siapapun disini, tapi dengan nekatnya aku dating kesini menyamar sebagai Aya untuk mengetahui kehidupan dan misteri kepergiannya yang begitu bodoh. Aku menhambil nafas dalam dan menghembuskannya perlahan.

"Tenang Kira, semua akan baik-baik saja." Semangatku kepada diri sendiri untuk memunculkan rasa kepercayaan diriku. "Seperti permainan lama yang sering dimainkan. Game On"Aku pun mulai berjalan dengan mantap memasuki sekolah dan langsung menghampiri papan pengumuman seperti yang dilakukan murid yang lainnya. Ya mereka sedang mencari nama mereka masing-masing untuk melihat ada dikelas mana mereka tahun ini. Aku mendongak mencari namaku lama, namun tidak aku temukan sama sekali.

"Aya!"suara panggilan dari belakang mengagetkanku dan membuatku sadar akan perbuatan bodohku yang mana dari tadi aku mencari namaku sendiri Kira, bukan mencari nama Aya. Aku menoleh ke sumber suara. Tanpa bisa memperhatikan dengan baik, seorang perempuan langsung memelukku. Aku hanya bisa terdiam bingung harus bagaimana. Tak selang berapa lama perempuan itu melepaskanku.

"Kamu kemana saja? Kamu tiba-tiba menghilang tidak bisa dihubungi sama sekali. Apa ada sesuatu yang terjadi? Kamu baik-baik saja kan?" Tanyanya penuh kekhawatiran. Aku melihat lekat perempuan didepanku yang kutebak lebih mudah dariku dan Aya, wajahnya putih, bahkan lebih putih dari kulit Aya, bibirnya mungil dan pipinya terlihat agak chubby dengan potongan rambut sepundak dan bergelombang. Tak lupa aku melirik papan nama kecil yang disematkan didadanya. 'Belinda Islan'

"Ya..." jawabku dengan jeda masih memikirkan jawaban. "Aya baik-baik saja. Aya hanya rindu papa jadi Aya pulang ke Surabaya" lanjutku mencoba menjawab dengan cara bicara Aya.

"Benar begitu?" tanyanya lagi. Aku mengangguk dengan cepat. "kenapa aku tidak bisa menghubungimu sama sekali?"

"itu..."sial aku mengumpat dalam hati. Karena memikirkan sekenario dengan Dian di telpon sejak sampai di Jakarta. Aku lupa untuk mencari ponsel Aya. "Aya meninggalkannya disini." Asalku berbohong. Dia hanya menatapku secara intens yang entah mengapa aku merasa sedikit tidak suka, seperti ada sesuatu yang tersembunyi dari tatapannya sesaat. Namun tatapan itu segera pergi setelah ia mengehal nafasnya pendek.

"Lebih baik kita masuk ke kelas. Untunglah kita satu kelas lagi di kelas 2 IPS 3." Belinda menarikku lalu melingkarkan tangan kanannya di lengan kiriku. Sedangkan aku saat ini mencerna ucapannya barusan. Kelas 2 IPS 3. Yang benar saja, Aya masuk jurusan IPS? Sial, Anjing, kampret seketika semua umpatana yang aku ketahui bermunculan dikepalaku. Aku tidak memperhitungkan hal ini.

Aku jadi ingat perjanjianku dengan Bu Martina, dimana aku akan mendapat peringkat 5 besar saat ujian dengan nama Aya. Seketika rasa ngeri menjalar diseluruh tubuh. Aku paling benci semua pelajaran yang berhubungan dengan IPS. Ya aku tidak bisa memahami semua konsepnya yang banyak mengandai-andai dan perkiraan, sosiologi, akutansi, geografi dan sejarah. Semua pelajaran horror yang mana aku selalu mendapat nilai merah di sekolahku dulu. Aku lebih suka mempelajari ilmu pasti dan masuk akal seperti berhitung.

Kami pun memasuki sebuah ruang kelas yang aku tebak ini adalah ruang kelas Aya. Sebuah kelas dengan konsep modern, dimana bangkunya begitu modern dengan kaki bangku dari besi dan tatakan meja kayu yang berlapis cat putih, ditambah ada LCD besar dipojok ruangan bahkan mesin proyektor tergantung di atasnya. Aku menatap kagum ruang kelas itu, benar -benar berbeda dengan sekolahku dulu dengan kesan klasiknya. Saat berdiri didepan pintu, ada perasaan aneh, tatapan orang-orang terlihat mencurigakan setiap menatapkua, mereka pun saling berbisik satu sama lain. Belinda langsung menarikku di bangku paling belakang, membuatku duduk disampingnya dan mendekatkan wajahnya kepadaku.

69 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang