13. Behind the Truth pt.2

2.6K 270 1
                                    


Secara cepat aku mengikatkan dan merekatkan tali sepatu dance metallic dengan botty setinggi mata kaki di kakiku. Aku terlihat sempurna saat ini ketika aku melihat pantulan diriku di depan kaca full size yang berdiri di pojok ruangan kamarku. Aku pun segera mengambil tas dan keluar dari dalam kamar sore itu. Nampak Bi Sri yang sedang merapikan meja makan tempatku makan tadi setelah pulang dari sekolah.

"Pak parmin masih belum pulang Bi?" Tanyaku padanya yang saat ini sudah ada di depanku.

"Belum, non. Pak parmin masih mengantarkan bapak ke rumah sakit." Aku pun menganggukkan kepala mendengarkan penjelasannya.

"Kalau begitu Kira pergi dulu, bi. Hati-hati dirumah"

"Non Kira berangkat naik apa?"Tanyanya saat melihatku berjalan menuju ruang tamu. Sebelum aku bisa menjawab pertanyannya suara bel dan ketukan pintu terdengar dari arah depan. Aku pun menghentikan Bi Sri yang hendak membukanya, karena aku sendiri yang akan membukanya, sekalian aku mau keluar.

Saat pintu terbuka lebar, sosok lelaki yang sudah lama tidak aku lihat mungkin semingguan lebih karena aku menghindarinya, berdiri didepanku dengan senyumannya yang menawan. Lelaki itu menggenakan kaos polos putih yang di lapisi jaket kulit warna hitam, celana denim gelapnya di selaraskan dengan sepatu semi formal berwarna hitam dengan paduan garis warna coklat mahony, rambutnya ditata sedemikian rupa sehingga wajah tampannya terlihat begitu menawan dan berhasil membuat dadaku berdegup kencang setiap kali aku berhadapan dengannya, Kak Kenar.

"Hai." Sapaan dari mulut tipisnya dengan tatapan intens nan lembut dari bola mata birunya berhasil membawaku kembali kedalam ragaku yang sempat melayang sesaat.

"Ah.. ya.. hai" Jawabku terbata-bata. Kak Ken tersenyum mendengar jawabanku.

"Hari ini mau pergi ke studio tari?" Tanyanya, aku mengangguk pelan masih menatap wajah tampannya. "Biar aku antarkan." Ia menawarkan diri. Dengan cepat aku menggeleng.

"Tidak perlu, Aya pergi kesana dengan pak Parmin." Dustaku.

"Biar aku antarkan kamu. Lagipula, pak Parmin masih di rumah sakit mengantar Ayahmu bukan?" Aku menatapnya heran. Bagaimana dia bisa tahu? Sebelum aku bertanya jawaban yang aku inginkan keluar dari mulutnya.

"Aku kesini atas ijin ayahmu untuk mengantar. Tadi Aku dan mama Emily menjenguk ibumu dirumah sakit. Kita bertemu dengan ayahmu disana, aku menawarkan diri untuk mengantarmu daripada pak Parmin pulang-pergi mengantar. Kasihan."

"Kak Ken, tidak perlu repot-repot. Kalau pak Parmin tidak bisa mengantar Aya bisa pergi naik taksi."Aku mencoba menolaknya secara halus. Apalagi saat ini aku belum menata hatiku antara marah atas yang ia lakukan sebelumnya dan debaran jantung yang ia timbulkan setiap aku bertemu dengannya.

"Aku memaksa dan aku tidak bisa membiarkanmu pergi kesana sendirian."Jawabnya tegas masih dengan tatapn lembutnya. Demi tuhan saat ini aku seperti perempuan bodoh yang menurut dengan perkatannya dan membuatku duduk dengan nyaman di kursi penumpang di sampinya saat ini.

"Selamat." Katanya tiba-tiba memecahkan kehiningan diantara kai berdua di dalam mobilnya yang saat ini sedang melaju pelan di jalanan besar Jakarta yang penuh sesak seperti memasuk jalan kelinci.

"Untuk Apa?" Aku menatapnya sambil mimiringkan kepalaku untuk melihat ekspresinya yang masih menatap kedepan di jalanan yang penuh kendaraan.

"Selamat karena kamu lolos audisi menari dan melangkah tahap berikutnya." Lelaki ini menoleh kepadaku tepat saat mobil berhenti dan menatap langsung kemataku.

"Tidak perlu memberi Aya selamat. Aya belum tentu lolos ditahap selanjutnya."jawbku sembari memalingkan muka untuk menyembunyikan wajahku yang aku yakin saat ini pipiku merona merah.

69 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang