7. Broken Wings

3.4K 307 18
                                    

Tin.....Tin...Tin...

secara tidak sabar aku menekan klakson tanpa henti kepada mobil yang ada didepanku. Tak selang berapa lama mobil itu pergi dan meninggalkan sebuah tempat untukku memarkirkan mobil merahku. Segera aku pun menempatinya dan dengan keras membanting pintu mobilku ketika keluar dari mobil tanpa memperdulikan teriakan tukang parkir, aku berlari cepat memasuki sebuah gedung tinggi yang entah mengapa saat ini terlihat seperti rumah hantu yang membuat orang tidak ingin berada didalam. Aroma ethanol dan alkohol yang khas tercium di setiap ujung ruangan saat aku memasukinya. Secepat kilat aku menaiki tangga di sebelah lift yang baru saja tertutup, bahkan aku tidak berhenti saat aku tersandung anak tangga yang membuatku terjembab diantaranya. Aku bangkit dan tetap berlari menuju ruang UGD rumah sakit itu.

Sesampainya di lorong, aku bisa melihat orangtuaku sudah berada disana. Ayah terduduk lemas dikursi tunggu, sedangkan ibu berjalan monda mandir didepan pintu UGD yang mana indikator lampu di atas pintu masih menyala menandakan aktifitas didalam entah itu operasi atau pemeriksaan apapun sedang terjadi. Aku berjalan pelan mendekat ke arah ayah. Aku duduk disampingnya dan menepuk pelan pundaknya. Ayah menoleh kepadaku.

"A..Apa yang te....jadi...Se benar...nya?" Tanyaku terbat-bata mencoba mengatur nafasku yang tersenggal-senggal karena berlari. Saat itu aku bisa merasakan rasaa nyeri di lututku karena terjatuh tadi. Ayah menatapku dengan tatapan sedih, bingung dan bersalah disaat bersamaan. Tatapan yang membuatku terhenyak tanpa bisa bertanya lebih lanjut. Sekarang aku hanya bisa bersandar menatap lantai rumah sakit dan bersandar menunggu tanpa kepastian. Keadaan ini hampir mirip dengan yang waktu itu. Ya kita semua menunggu didepan pintu seperti ini. Ibu dan ayah juga dengan bersamaan datang menghampiri dokter yang beru saja keluar dengan pakaian khasnya, jubah hijaau yang bisa ditebak sudah disterilkan terlebih dulu saat digunakan. Perbedaannya saat ini aku ikut berdiri dan menghampiri dokter tersebut.

"Maaf kan kami. Kami sudah berusaha sekuat tenaga untuk membersihkan pil yang diminumnya tapi semuanya sudah terlambat. Tuhan berkata lain. saudari Aya tidak bisa kami selamatkan." ujar dokter tersebut. Mendengar hal itu aku hanya bisa berdiri beku ditempatku. Ibu mulai kehilangan keseimbangan sehingga ia memegang pundak Ayah untuk membantunya. "Dan juga kami tidak bisa menyelamatkan janin yang ada dikandungannya. Masih terlalu kecil."

"Janin!?" Ibu setengah berteriak kali ini kepada dokter tersebut.

"Ya. Saudari Aya tengah mengandung. Usia kandungannya baru 2 minggu." Jelasnya lagi.

"Mana mungkin. Mana Mungkin. Dokter pasti bohong" entah darimana ibu mendapatkan kekuatannya kembali. Ia memegang erat jubah dokter itu dan menggoyangkannya cepat. "Mana mungkin Aya pergi. Mana mungkin Aya mengandung!" teriaknya dalam kepiluan, air mata jatuh dengan cepat membasahi pipi Ibu. Ayah mencoba melepas genggeman ibu dari dokter itu dan menariknya kedalam pelukannya. Ibu berteriak dalam tangisannya.

Sedangkan aku hanya bisa berdiri diam ditempatku berada. Menyaksikan semuanya dihadapanku. Aku mencerna semua informasi dan kejadiaan yang aku saksikan. Apa yang sebenarnya terjadi? kenapa dengan Aya? Kenapa dia bisa hamil? Beribu pertanyaan menyusup kedalam pikiranku tanpa ada yang bisa menjawabnya. Dengan pikiran kosong, entah bagaimana caranya sekarang aku sudah duduk kembali kedalam mobilku yang terkunci rapat dari dalam. Aku menutup mataku, menutup telingaku menutup apapun yang bisa aku lakukan. Aku mulai berteriak, berteriak sekencang-kencangnya. Memeluk diriku sendiri dengan erat dan tanpa kusadari aku mulai menangis, menanagis dan menangis tanpa tahu lagi sudah berapa lama aku duduk didalam mobilku sendiri.

***

Sudah dua hari sejak kematian Aya. Saat ini aku hanyabisa duduk diam didalam kasurku. Aku menatap sekeliling, beberapa hari lalu Aya masih ada disini, duduk di meja dan asyik menulis sesuatu. Pelahan aku berjalan mendekat dan duduk didepan meja tersebut. Meja yang sebelumnya berantakan karena tumpukan buku,, entah itu novel, komik atau pelajaran. Sekarang sudah tertata rapi, aku tahu pasti Aya yang merapikan meja itu sebelumnya. Aya sangat suka kerapiaan, sedangkan aku suka membuatnya berantakan kembali. Aku tersenyum sedih mengingat hal itu. Aku mendongaakkan kepalaku agar air mataku yang mulai jatuh kembali lagi.

69 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang