3. Surviving

3.5K 337 20
                                    

Malam ini angin berembus lembut melewati sela-sela rambut pendekku yang aku potong sepundak dan berhasil membuatnya berantakan. Langit terlihat begitu gelap, hanya terlihat 4 sinar bintang yang memancarkan sinarnya sekuat tenaga. Ya, bintang itu benar-benar hebat, dengan jarak bertriliun jutaan kilometer dari bumi, ia bisa menunjukkan kehindahan sinarnya, meski itu terilhat kecil tapi tetap indah di gelapnya malam. Aku hanya bisa menghela nafas panjang dan melihat kembali undangan yang dikirimkan Aya kemarin. Undangan ulang tahun kita. Bukan lebih tepatnya undangan keselamatan Aya yang berhasil hidup sampai umur 15 thn dengan jantung barunya. Dimana dokter sendiri meragukan keberhasilan jantung yang ia tanamkan di tubuh Aya.

Kali ini Ibu benar-benar berlebihan. Tahun ini ia mengadakan pesta ulang tahun di hotel berbintang lima dan mengundang seluruh keluarga besar dari pihak ibu di Jakarta, yang mana, aku sendiri belum pernah bertemu dengan mereka. Sejak kepergian mereka, aku tidak pernah menemui Aya ataupun Ibu. Bukan karena mereka melarangku tetapi aku tidak ingin menemui mereka. Aku masih merasa takut jika bertemu mereka. Aku takut melakukan kesalahan seperti dulu. Aku takut melihat tangisan salah satu dari mereka. Perlu dicatat meski aku tidak bertemu tapi aku masih berhubungan dekat dengan Aya. Terima kasih kepada kecanggihan zaman dimana sebelumnya aku hanya bisa berkirim surat, sekarang aku bisa berkirim Email ataupun Chatting. Bukan karena belum ada ponsel, tapi Ayah tidak suka aku membawanya, ia pikir masih terlalu dini untukku memiliki benda itu. "Belum saatnya." Jawaban yang selalu ia berikan setiap kali aku memintanya. Oleh sebab itu, diam-diam aku menabung uang jajanku sebagaian untuk membelinya sendiri suatu saat nanti. Ayah tidak pernah marah atau protes jika aku membelinya dengan uang yang aku sisihkan sendiri. Pasalnya, Ayah diam-diam mengajariku untuk menghargai setiap uang, barang atau apapun yang aku keluarkan dan gunakan.

Kembali ke undangan yang aku pegang. Aku masih tidak ingin kesana. Aku pasti merasa asing dengan orang-orang yang datang kesana. Bagaimana pun caranya aku harus mencari alasan untuk menghindari undangaan tersebut. Tanggal 15 April, yang jatuh pada hari Minggu bulan ini. Tunggu dulu, hari minggu bulan ini. Ya aku ingat sesuatu. Sesuatu yang sangat penting, ya tidak begitu penting, tapi bisa menjadi hal penting untuk saat ini. Tanpa basa basi aku beranjak dari kursi teras lantai dua dan menghampiri Ayah dan Mbak Nurila yang sedang duduk di meja makan menikmati secangkir teh hangat untuk mbah Nurila dan Kopi hitam kesukaan Ayah.

"Aku gak bisa datang ke pesta ulang tahun ini." Ucapku sambil mengayun pelan undangan yang aku pegang tadi. Mereka pun langsung menatapku heran. "Aku sudah ada acara. Lagipula ini terlalu mendadak. Kenapa baru dikasih tahu seminggu sebelum acara?"

"Acara lain apa? Ini acara kamu dan Aya. Jadi kamu harus datang." Tanya Ayah ramah.

"Aku ada ujian kenaikan tingkat untuk Taekwondo. Aku gak bisa minta ganti jadwal, kan? Sudah ditentuin dari pusat." Dalihku, yang sebenarnya aku tidak peduli dengan kenaikan tingkat atau apapun.

"nak, Ini acara kalian berdua. Masa yang punya acara tidak hadir?" bujuk Mbah Nurila.

"Ini bukan acara Kira. Ini acara keselamatan Aya karena Aya berhasil selamat dari prediksi doktor bodoh yang mengatai Aya hidup gak sampai 15 thn."

"KIRA!" Ayah mulai menaikan nada suaranya yang membuatku sedikit tersentak namun tidak mengurungkan niatku untuk tidak hadir.

"Kalau Kira bilang tidak datang, berarti tidak datang!" aku mulai menegaskan perkataanku kembali. "Lagipula kalau acaranya di Jakarta, Kira bakal seperti kambing congek yang gak kenal sama sekali tamu yang diundang. Jadi Aku gak mau datang." Ekspresi wajah Ayah mulai sedikit berubah dan aku bisa mengenalnya. Sebelum Ayah berkata aku menambahi perkataanku. "Ayah tenang aja. Aku akan jelaskan semuanya kepada Aya. Jadi jangan khawatir, acaranya akan tetap terlaksana walaupun tidak ada Kira." Setelah selesai berbicara aku berjalan, bukan lebih tepatnya berlari menuju kamarku tanpa memperdulikan panggilan Ayah.

69 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang