66. The War

3.5K 128 2
                                    

Beberapa bulan telah berlalu. Ada yang aneh pada sikap Mika. Ia sering marah tiba-tiba dan menumpahkan kekesalannya pada Yoshiki yang sama sekali tidak tahu apa-apa dan jadi ikut-ikutan marah karena sikap Mika.

Micchan benar-benar sedih melihat orangtuanya yang sering bertengkar seperti itu. Ia sampai sering pergi ke rumah neneknya untuk menceritakan hal pertengkaran mereka.

Hari itu, Micchan kembali pergi ke rumah neneknya dengan wajah muram. Ibu Mika langsung menghampirinya.

"Ada apa Micchan ? Kenapa wajahmu sedih begitu ?" tanya neneknya dengan perlahan.

"Nenek...ibu dan ayah bertengkar lagi... Micchan tidak mengerti masalahnya tapi hanya karena hal-hal kecil, ayah dan ibu bertengkar terus..." jawab Micchan dengan sedih.

Mendengar hal itu, entah sudah berapa kali ibu Mika menasehati mereka berdua untuk berbaikan. Tetapi, fatalnya tidak ada satupun dari mereka yang mau mengalah.

Mika merasa Yoshiki tidak mengerti dirinya sedangkan Yoshiki merasa Mika selalu menyalahkannya.

Akhirnya, Yoshiki sampai pada batas kemarahannya. Ia memilih diam saja dan tidak beradu mulut dengan Mika.

Suatu hari, Mika yang biasanya menyiapkan sarapan untuk mereka pun memberikan Yoshiki separuh porsi dari yang seharusnya ia dapatkan.
Yoshiki tertegun dan tidak menanyakannya. Ia tidak ingin kembali ribut dengan Mika.

Yoshiki hanya menghela napas panjang saja diperlakukan demikian oleh Mika.

Micchan melihat piring ayahnya dan memberanikan diri untuk menanyakan hal itu.

"Ayah...kenapa ayah hanya makan sedikit ?" tanya Micchan memandang ayahnya dengan penuh simpati.

Yoshiki pun menoleh menatap anaknya dan ia hanya bisa tersenyum kecut.

"Umm...ayah sedang mengurangi makan... tidak baik bagi ayah untuk makan terlalu banyak di umur ayah..." jelas Yoshiki.

Ia berbohong pada Micchan agar putri kecilnya itu tidak merasa sedih padahal sebenarnya Yoshiki cukup lapar.

Walaupun diperlakukan demikian, Yoshiki sama sekali tidak pernah membeli makanan di luar. Ia selalu menerima apa yang diberikan Mika.
Tetapi, hal itu malah membuat wajahnya menjadi pucat dan fisiknya melemah.

Seminggu berlalu dengan keadaan seperti itu. Memang sudah tidak ada pertengkaran adu mulut diantara mereka. Tapi, perang dingin malah terjadi di antara mereka.
Yoshiki dan Mika malah sama sekali tidak bertegur sapa.

Walaupun demikian, mereka berdua tetap bersikap baik pada Micchan. Yoshiki tetap memilih diam untuk meredakan emosi Mika yang tidak stabil saat ini.

***

Suatu pagi, Mika diminta tolong oleh Misaki untuk mengantarkan file-nya yang tertinggal untuk rapat. Kebetulan Misaki bekerja di perusahaan yang sama dengan Yoshiki.

Mika pun pergi mengantarkan file Misaki ke kantornya karena istri Misaki sedang berada di rumah orangtuanya.

Ia pun melewati dua orang karyawati yang sedang istirahat saat selesai mengantarkan file Misaki. Tanpa sengaja ia mendengar mereka bercakap-cakap tentangnya.

"Eh, bukankah yang tadi itu istri Kimura-kun 'kan ?" kata karyawati pertama.

"Ah ya...istrinya cantik ya..." balas temannya.

"Memang cantik sih...tapi, aku heran kenapa dia tidak mampir ke kantor suaminya dulu sebelum pulang ya ?" timpal karyawan tadi dengan menerawang. Mereka melihat Mika tadi keluar dari koridor yang berbeda dari kantor Yoshiki.

"Oh ya, ngomong-ngomong soal Kimura-kun, akhir-akhir ini aku sering melihat wajahnya pucat... sepertinya dia kelelahan..." lanjut temannya lagi.

"Kau benar...aku berkali-kali menawarinya untuk memesankan makan siang di luar. Tapi, dia selalu menolak dan hanya mengatakan akan makan siang di rumah..." ujar karyawati itu.

Mika tersentak mendengar perkataan mereka. Memang Yoshiki selalu pulang untuk makan siang dan Mika selalu memberinya porsi separuh.

Sebenarnya ada rasa bersalah di hati Mika. Tapi, entah kenapa ia selalu merasa kesal akhir-akhir ini hingga ia menjadikan Yoshiki objek kekesalannya.

Malam itu, mereka kembali berdiam diri hingga Micchan benar-benar sedih melihat orangtuanya seperti itu.
Ia langsung pergi ke rumah neneknya dengan menangis.

"Nenek....huaaaaa...." tangis Micchan keras sambil memeluk neneknya.
Nenek Micchan langsung memeluknya cepat.

"Ada apa sayang ??? Ayah dan ibu bertengkar lagi ???" tanyanya memandang sedih pada Micchan.

"Ayah dan ibu sama sekali tidak berbicara satu sama lainnya... mereka masih bertengkar..." jawab Micchan sambil sesengukan.

Astaga...mereka tidak seharusnya begitu di depan anak mereka...batin neneknya sedih.

"Sudahlah Micchan...mungkin ayah dan ibu membutuhkan waktu untuk berbaikan... biarkan saja mereka seperti itu dulu ya... nenek akan bantu bicara pada mereka nanti..." kata beliau berusaha menenangkan Micchan.

Setelah beberapa saat Micchan menangis di sana, ia pun pamit pulang pada neneknya.

"Nenek antar ya Micchan... ini sudah malam... atau Micchan mau menginap di sini dulu bersama kakek dan nenek ?" kata nenek Micchan memandang cucunya itu.
Micchan langsung menggeleng.

"Tidak usah nek... Micchan bisa pulang sendiri kok... kalau Micchan tidak pulang, nanti ayah dan ibu bertengkar lagi..." jawab Micchan pada neneknya.

"Baiklah...hati-hati di jalan ya sayang..." senyum neneknya lagi.

Belum beberapa lama nenek Micchan membalikkan tubuhnya untuk masuk ke rumah, tiba-tiba terdengar decit mobil yang berhenti mendadak.

BAAM !!! CKIITTT !!

Ia segera berbalik untuk melihat apa yang terjadi dan betapa kagetnya dia karena melihat Micchan yang ditabrak hingga jatuh di aspal dengan berlumuran darah.

"Micchaaann !!!" jerit neneknya sambil berlari menghampiri tubuh Micchan yang tergeletak.

A Thousand KissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang