Pesawat kami mendarat tepat pukul tujuh pagi dan kami masih mengantuk. Aku membuka seatbeltku lalu kami berhenti demikian karena penumpang dipesawat ini ramai sekali. Setelah tidak terlalu ramai, kami beranjak dari kursi kami lalu mengambil beberapa tas seperti ransel kami.
Sehabis kami mengambil tas koper kami, kami keluar dari tempat tunggu dan mencari-cari Bibi Olivia. Tapi dimana dia? Kami melirik kearah kanan dan kiri tapi dia tidak terlihat dimanapun. Lalu saat mataku terhenti memandang seorang wanita berambut panjang dan berwarna coklat, aku sudah tahu pasti bahwa itu adalah Bibi Oliv.
Kami spontan menyamperinya dan memberikan kejutan padanya. Dia terlihat kaget.
Dia memelukku dan juga Dann. "Dann, Jenna, kalian sudah terlihar sangat dewasa. Aku rindu pada kalian."
"Kami juga rindu padamu, Bibi Oliv."
Dia melepas pelukkan kami lalu matanya tertuju pada Liam. "Liam? Kemarilah." Lalu Liam mengikuti Bibi Oliv dari belakang. Mereka berbicara berdua dan berjarak lumayan jauh dari kami. Aku menyilangkan tanganku lalu menatap pada Dann. Dia juga menatapku.
"Ada apa dengan mereka? Apa mereka bertengkar lagi?" Katanya sambil mengangkat alisnya.
"Tidak. Nanti saja. Aku masih sangat lelah akibat terbangan tadi. Dann, sekarang aku rindu teman-teman kita yang di LA." Kataku yang menatap pada Dann dengan muka manja padanya.
"Jenna, jangan merasa sedih. Kita hanya tinggal di London untuk beberapa hari. Kita tidak akan lama. Tujuan kita adalah untuk menjenguk Ibu, bukan?" Dia mengangkat daguku. Aku mengangguk.
"Ya kalau begitu, jangan sedih. Jangan bersikap aneh. Aku tidak suka jika kau melakukan hal aneh, mengerti?" Aku mengangguk lagi. Dann benar. Aku secara tiba-tiba bersikap sangat aneh. Aku harus ceria, lagipula ini juga disebut liburan, bukan? Aku harus menikmatinya. Aku tidak ingin membuat Ibu sedih lagi.
***
Ahkrinya kami sampai dirumah kami yang sudah lama tak jumpa.
"Bi, dimana Ibu?"
"Dia sedang tidur. Semenjak dia sudah sadar, dia tidak ingin beranjak dari tempat tidurnya sebelum melihat kalian." Astaga, ibu benar-benar sedang sakit.
"Kalian taruh saja barang-barang kalian dikamar kalian lalu pergilah kekamar Ibumu. Liam, kau juga."
Kami memgangguk dan mengikuti perintah Bibi Oliv. Kamar duluku terletak didepan kamar Ibu dan Ayahku. Kamar Dann dan Aku bersambung iadi kami bersebelahan. Ada satu connecting door yang menyambung kamar kami karena dulu aku masih takut tidut sendirian dikamarku. Kamarku masih terlihat lucu dan manis.
Aku meletakkan koperku, lalu menutup pintunya. Spontan aku mengetuk pintu kamar Ibu lalu membukanya. Ibu mengizinkanku memasuki kamarnya. Dann dan Liam masih dikamar jadi mungkin lebih baik aku menyamperi Ibu terlebih dahulu.
Aku berlari padanya. Air mataku sudah mulai menetes saat aku melihat tubuhnya yang lemah yang sedang berbaring saat ini. "Ibu, aku rindu merindukanmu." Aku memeluknya.
"Aku juga rindu padamu, nak. Sangat merindukanmu." Astaga, ibuku yang kucintai, yang sudah berdosa selama ini sudah terlihat sangat tua. Entah mengapa aku mengatakan hal itu, tapi Ibuku yang ini jauh lebih beda dari Ibu yang terakhir kali aku melihatnya dulu yang masih tampak muda. Mungkin karena efek dia meminum terlalu banyak.
"Ibu, apa kau masih mengingat namaku?"
"Tentu saja, sayangku. Aku yang melahirkanmu. Aku yang memberimu namamu. Namamu adalah Jenna Hale Milison. Tidak mungkin aku melupakan dirimu." Dia memberikanku kecupan hangat dikeningku. Aku merindukanmu kecupan itu semenjak aku mendengar dia terkena kecelakaan tragis.

YOU ARE READING
All The Love, H.
Fiksi PenggemarHeyho! This is my first Story! Well, maafkan daku kalau ada typonya dan hal-hal yang menjijikan. hope you like this story! And don't forget to leave a vote and comments! :D