9

2K 310 19
                                    

Aku terbelalak kaget saat seseorang menarik tanganku masuk kedalam mobil. Jika saja aku tidak melihat tato JKH di tangan kirinya pasti aku sudah berteriak penculik.

"Santai saja, ini Calum kok," ucapnya saat berhasil menarikku masuk ke mobil.

"Seperti penculik," aku memutar mata, "ada apa menjemputku?"

"Wasting your time with me," ucapnya sepersekian detik.

"Hah? Yang bener aja, bawa aku pulang. Aku belum ganti baju," lalu ia membawa tangan kirinya ke jok belakang dan mengambil sehelai baju.

"Seperti biasa, pake bajuku dulu," ini adalah baju kedua milik Calum yang sudah kupakai. Bahkan bajunya yang kemarin belum kukembalikan.

"Terus kita mau kemana?" Ia menunjuk sesuatu di ponselnya. Yang bisa diartikan sebuah taman bermain. Aku hanya mengangguk singkat dan menyenderkan kepalaku pada jok mobil Calum.

Dinginnya AC mobil Calum memang cocok dengan udara panas LA. Terlebih lagi udaranya bercampur dengan wangi khas Calum.

Aku sama sekali tidak berani melihat kearahnya sekarang. Entah kenapa selama dua minggu aku mengenalnya tatapannya membuatku meleleh. Apalagi suaranya yang terdengar merdu di telingaku.

Lalu ia mematikan AC mobilnya dan membuka kaca mobilnya lebar-lebar. Ia meraba dashboardnya dan mendapatkan satu kotak rokok dan pematik didalam kotak rokoknya itu.

"Merokok?" Tanyaku. Ia mengangguk lalu menyalakan pematiknya dan membakar ujung rokoknya.

"Sejak kapan?" Tanyaku lagi.

"Seumurmu, dan sekarang aku kecanduan,"

"Tiga tahun sudah," ucapku pelan.

"Jadi kita beda 3 tahun? Yang benar?" Aku mengangguk, "aku terlalu tua bagimu?"

"Maksudmu?" Ia menggeleng lalu menghembuskan rokoknya ke udara. Sebenarnya aku tidak kuat dengan bau asap rokok yang Calum hembuskan itu sangat menyakiti hidungku serta laringku, lalu jika melihat pemandangan seperti ini aku tidak bisa menyuruhnya untuk berhenti. Dia terlalu panas.

"Berhentilah membakar uangmu." Ucapku pelan namun tidak melirik kearahnya.

"Peduli?" Aku mengangguk, "sudah tidak usah pedulikan aku, aku emang gini adanya." Ia malah tertawa dengan tololnya.

"Dasar." Lalu ia menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Bukannya gimana, ini jalan tidak kukenal dan dipinggirnya banyak sekali restoran serta butik baju.

"Tunggu sebentar," aku mengikuti arah Calum berjalan. Ia berhenti pada tempat sampah lalu menghisap rokoknya kuat-kuat sebelum dibuang ke tempat sampah itu. Ia kembali masuk ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanannya.

"Calum," panggilku.

"Apa?"

"Aku merasa aneh denganmu, semenjak awal kita bertemu kamu sangat baik padaku bahkan sampai sekarang. Lalu teman-temanmu juga begitu, aku takutnya ada maksud tertentu diantara kalian. Kalian kan artis." Ia melirikku kemudian tertawa.

"Tandanya kamu jatuh cinta sama aku," ia kembali tertawa.

"Jangan bercanda, aku sedang serius." Aku meninju lengannya.

"Ya ini memang kami di belakang panggung, mau bagaimana pun juga ini sifat kami. Kalau ada sesuatu yang janggal sisi nakal kami terlihat," memang sudsh terlihat aura-aura tidak mengenakan dari mereka. Tapi sayangnya, sejauh ini yang sangat terbuka padaku hanyalah Calum. Buktinya ia berani merokok didepanku.

"Hey Summer, I believe in you."

***

Calum mengajakku ke basecampnya. Ketiga temannya sedang pergi entah kemana. Sekarang kami sedang duduk-duduk di sofa rumah ini.

"Oh iya Cal, jaketku belum kamu kembalikan." Ucapku pada Calum yang baru saja keluar dari dapur.

"Di van, belum kuambil." Aku memutar mata dan mengomel pelan padanya, "jangan memutar matamu, awas ga bisa kedip."

"Biarin," aku memelet padanya. Kemudian ia merogoh saku celananya kemudian menghidupkan pematik api itu dan membakar lagi satu batang rokok. Apa dadanya tidak sakit menghirup udara rokok itu terus menerus?

"Calum berhentilah merokok." Ucapku padanya.

"Sudah kucoba namun tidak bisa." Ia menghisap rokok itu terus menerus sampai asapnya mengepul kemana-mana.

"Coba lagi." Ia diam, dan hanya menatapku yang kebetulan juga sedang menatapnya.

"Akan kuusahakan." Ia langsung membuang puntung rokok yang masih setengah itu ke tempat sampah. Lalu ia mengajakku keluar untuk berjalan-berjalan. Kau tahu, ia mengajakku ke toko kamera.

"Mau beli apa sih?" Tanyaku pada Calum.

"Polaroid." Ia berbincang-bincang dengan pelayan toko itu. Kemudian ia menunjuk polaroid berwarna hitam dan putih. "Bagus ga Sam?"

"Bagus kok." Kemudian ia berjalan kearah kasir dan membayar polaroid itu. Dan kamipun dengan cepat-cepat masuk ke dalam mobil agar tak seorangpun yang melihat.

"Ngapain tiba-tiba beli polaroid?"

"Pengen aja, buat foto-foto sebelum aku pergi." Aku mengernyitkan dahiku heran. Tapi aku tahu yang dimaksud pergi itu apa, yaitu pergi Tour bandnya.

"Percuma punya ponsel mahal-mahal berkamera bagus kalo gitu," kataku dengan nada mengejek. Ia hanya tertawa kemudian mengambil ponselnya di dashboard.

"Yasudah ambil saja ponselku, jika kau betah dengan notifikasinya." Ia meletakkan ponselnya diatas pahaku. "Polaroid itu lucu tau!"

"Boleh aku buka-buka ga?" Tanyaku sambil menunjukan ponselnya yang sudah kupegang.

"Boleh," kugeser layar ponsel Calum. Lalu langsung saja aku menuju photo. Hampir 10 ribu lebih jumlah foto di galerinya. Kugeser satu persatu lalu kutemukan foto seseorang yang mirip dengan foto yang kutemukan di dompet Calum.

"Ini siapa? Cantik kok, pacar?" Aku menunjukan foto itu pada Calum.

"Iya dulu, sekarang udah engga." Oh mantan.

"Kenapa putus?"

"Gatau tuh, dia yang ninggalin. Mungkin karena dia tahu aku perokok candu." Ucapnya santai. Aku tidak menjawabnya lagi kemudian menggeser-geser foto yang ada diponsel Calum.

"Candle light dinner?" Tanyanya yang sedikit membuat jantungku nyaris copot.



To be continued...

Poprock Star : Calum HoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang