"Laqueena?"
Tubuh itu tidak bergerak. Hembusan napasnya terdengar teratur. Zurri terus menatap gadis yang ada di sisinya, yang tertidur sepanjang perjalanan menuju kampus. Dan kini, mereka sudah tiba di depan pelataran parkir University of Moscow. Tak tega Zurri membangunkan Queen, terlebih saat telapaknya membelai kening Queen, suhu gadis itu panas sekali. Mata safir itu juga mampu menangkap bulir keringat dingin yang membasahi pelipis Queen.
Sakit ini tidak main-main. Zurri tidak akan pernah menganggap remeh penyakit seringan apapun, bahkan demam sekali pun. Akhirnya Zurri kembali menyalakan mesin Lamborghini-nya. Ia sudah bertekad akan membawa Queen ke rumah sakit.
"Daddy... daddy Leon... jangan pergi..."
Seketika Zurri menoleh saat mendengar bibir mungil Queen menyebutkan nama Leonard. Zurri tahu, meskipun Leonard pergi ketika Queen dan Qui masih sangat kecil, lelaki itu telah memiliki pengaruh yang besar pada kedua putrinya. Zurri memukul setirnya dengan keras. Mengutuki dirinya, sekali lagi. Menyesali apa yang telah ia lakukan pada keluarga Caradoc. Seandainya hari naas itu tidak terjadi, mungkin saat ini Queen dan Qui masih bisa mendapatkan kasih sayang ibu mereka.
Mengingat Qui membuat jantung Zurri berdetak lebih cepat dan dipenuhi dengan sesak. Earth... perempuan yang empat tahun terakhir tidak pernah lepas dari mimpinya. Perempuan yang menjadi alasan ia masih bertahan sampai sekarang. Perempuan yang ingin ia perjuangkan mati-matian. Dengan seluruh cinta yang ia miliki dan dengan seluruh hidupnya. Tetapi ia tahu, bahwa ia tak mampu menggapai Qui.
Bumi memiliki inti dan elemen api yang akan menghancurkan lautan kapan saja. Bumi memiliki masa yang terbatas dan akan merusak semua yang ada di dalamnya jika saatnya tiba. Dan itulah yang kini dinanti oleh Zurri. Menanti sang bumi untuk menguarkan gelora amarah dan lidah-lidah apinya. Ya, terkadang memang bumi mirip sekali dengan neraka. Ia hanya mampu menunggu Qui menghukumnya, setelah ia melarikan diri selama tiga tahun lamanya.
Tetapi... dilema selalu menghampirinya. Sebuah janji telah terucap kepada sang maestro. Janji untuk meminang salah satu putrinya. Laqueena Caradoc. Ya, ia harus menikahi Queen sebelum umurnya dirampas oleh Qui. Ia harus menepati sumpahnya pada Leonard. Ia hanya memiliki sisa waktu yang sedikit. Terkadang ia merasa bahwa Qui mampu menjadi malaikat pencabut nyawanya kapan saja. Ia harus bergerak cepat. Ia tidak ingin meninggalkan penyesalan hingga nanti napasnya terhenti.
Laqueena harus menjadi istrinya...
Mata safir itu berubah lebih kelam. Nanar ia menatap sebuah cincin yang terpasang di jari manis kirinya. Sebuah cincin yang dulu pernah menjadi simbol cintanya dengan Qui. Pertunangan yang pada akhirnya hancur dalam waktu sekejap. Dengan gerakan pelan, ia mengambil sebuah cincin yang diletakkan dalam kota bludru merah yang ada di saku celananya. Sebuah cincin pemberian Laonard. Sebuah cincin yang harus ia sematkan di jari manis Queen pada akhirnya nanti.
Zurri menengadahkan kepala, mencoba untuk menekan air mata yang akan keluar. Rahangnya mengeras. Satu tangannya terkepal dengan sempurna.
Maafkan aku, Laqueena. Maafkan aku belum bisa memberikan seluruh hatiku untukmu. Tetapi aku akan menjadi suami terbaik. Aku harus menepati janjiku pada Leonard.
"DADDY!!!"
Seketika Zurri terlonjak saat mendengar suara raungan Queen yang keras. Ya Tuhan! Dasar bodoh! Mengapa aku sibuk dengan pikiranku sendiri dan melupakan kondisi Queen?! Pekik Zurri dalam hati. Ia segera mencondongkan tubuhnya dan mengusap keringat yang ada di pelipis Queen dengan telapaknya.
"Laqueena, apakah kamu mimi buruk?" suara Zurri melembut. Ia melihat Queen sedikit membuka dan mengerjapkan matanya.
"Di mana aku?" suara Queen terdengar serak dan parau.

KAMU SEDANG MEMBACA
LaQueen
Romance"Ketika cinta tak harus memiliki tetapi juga merelakan..." Kisah kembar Laqueena dan Laquisha, sang pengidap hemofilia dan sang balerina terkenal. Mencoba memaknai arti hidup yang sebenarnya. Mencoba mencari pelabuhan hati terakhir mereka dalam kata...