Perlahan kedua netra Qui terbuka karena belai lembut instrumen piano yang menelusup ke dalam ruang pendengarannya. Qui mengerjabkan mata, mencoba memahami di mana ia berada, mencoba menguasai situasi. Tempat ini asing. Sebuah kamar yang dominan dengan warna pastel. Terdapat sebuah jendela kaca besar yang mengarah langsung ke balkon dan tertutup tirai panjang yang berkibar oleh tiupan angin dari ventilasi.Qui bangkit dari ranjang dan memposisikan dirinya setengah duduk. Ia kemudian menekuk kedua lututnya dan menyembunyikan kepala di balik lutut itu. Simfoni lembut tuts piano menggoda kesadarannya yang masih malu-malu untuk muncul ke permukaan. Qui membuka mata sempurna, menyibakkan selimut dan beringsut dari ranjang.
Ia melihat dirinya sendiri yang masih dibalut celana jeans panjang dan kaos yang kemarin ia kenakan. Tangannya terangkat untuk menyisir acak rambut brunette-nya. Kakinya melangkah mengikuti sumber melodi yang gaungnya memenuhi ruang persegi ini. Hingga langkah itu dituntun menuju sebuah ruang lain yang berada di sisi kamar. Ruangan dengan luas dua kali lipat dibandingkan kamar yang ia tempati. Di ruangan itu dipenuhi dengan alat musik berupa piano, biola, dan cello.
Qui menegang saat ia mulai merasa bahwa tempat ini begitu familier di matanya. Seperti baru beberapa waktu lalu ia di sini, dengan dawai biola yang menuntunnya. Tetapi kini, melodi pianolah yang membawa langkahnya kemari.
Kedua tangan Qui memeluk dirinya sendiri saat ia mulai menyadari sesuatu. Ia memang berada di tempat yang sama dengan ketika Zurri membawanya. Ruangan dipenuhi alat musik ini yang menjadi saksi bagaimana debat panjangnya dengan Zurri.
Mengapa ia berada di sini lagi?! Bukankah semalam ia melewati malam indah di arena ice skating bersama Darius?! Qui masih lebur dalam keterpanaannya saat ia mendapati sosok yang duduk di depan sebuah grand piano. Dengan rambut panjang yang diikat berantakan ke belakang. Mata hazel yang terlalu larut dalam belai tuts-tuts yang tertata rapi itu.
Saat Qui akan berbalik, netranya telah terpenjara ke dalam tajam hazel bagai elang itu. Qui membeku, merasakan aliran nadinya terhenti. Degup jantungnya mulai tak berirama. Perutnya dipenuhi oleh kupu-kupu yang berterbangan. Ulas senyum tipis dari bibir itu menghanyutkannya ke dalam dunia yang dipenuhi pelangi. Di luar batas kesadarannya, Qui melangkah mendekat dan pada akhirnya duduk di kursi panjang tepat di sisi Darius.
Kedua netranya menatap jari-jari lincah yang mampu menciptakan simfoni surgawi di telinganya. Desau lembut instrumen itu membawa kenyamanan bagi Qui. Reflek, ia menyandarkan kepalanya di bahu Darius dengan Darius yang masih fokus memainkan instrumennya.
Apakah ini mimpi? Qui sungguh mendambakan kehidupan seperti ini. Keheningan tanpa kata namun hanya iringan lembut instrumen klasik menenangkan jiwa yang menjadi latarnya. Jiwanya seakan tersedot dan bergerak mengikuti melodi yang mendayu.
Pun begitu Darius semakin merasuk dalam irama yang ia ciptakan. Hanya nada-nada yang mampu menyuarakan bagaimana sorak hatinya. Karena rasa tak perlu diungkap lewat deret aksara. Ketika nada terakhir selesai menguntai bunyinya, Darius segera merengkuh tubuh mungil Qui dalam dekapan hangat. Membawa Qui ke pangkuannya.
Ia tahu, ini terlalu cepat untuk mengungkap rasa. Seakan tiada jeda bagi hatinya untuk berpikir sejenak. Namun bukankah cinta mengalahkan logika? Karena ia yakin bahwa kini logikanya mati suri. Ia hanya perlu mengikuti instuisi yang menuntun naluri hati.
Ketika hazel dan biru telah melebur, Darius justru memaki kebisuannya. Apakah hanya dalam tatap, gadis di depannya ini mampu memahami apa yang ingin ia rangkai dalam kalimat?
"A ... a ...." Darius mulai membuka bibirnya, mencoba memaksa pita suaranya untuk bisa berfungsi lagi. Namun ia kembali harus menelan perih dan getir. Ia bagai bayi yang baru belajar bicara. Kegagapannya menampakkan bagaimana tolol ia di hadapan gadis yang kini diam dalam rengkuhnya .
KAMU SEDANG MEMBACA
LaQueen
Romance"Ketika cinta tak harus memiliki tetapi juga merelakan..." Kisah kembar Laqueena dan Laquisha, sang pengidap hemofilia dan sang balerina terkenal. Mencoba memaknai arti hidup yang sebenarnya. Mencoba mencari pelabuhan hati terakhir mereka dalam kata...