LaQueen - 6

6.6K 470 46
                                    


Pandangan tajam itu menerawang jauh. Pekatnya mengalahkan hitam langit yang bertemankan cahaya bulan. Tidak ada bintang, karena mendung menguasai cakrawala. Bahkan bulan pun lebih ingin bersembunyi di balik gumpalan awan dan hanya menyisakan sabit. Keremangan pada akhirnya menjadi naungan sosok yang kini berdiri tegap sambil meminum cokelat hangat.

Visual sebuah balkon kamar yang menjadi latarnya. Lelaki itu tampak sempurna. Seperti pangeran yang menunggu sang putri untuk segera datang. Tetapi sayang, sang putri sedang tertidur dan ia tak tahu kapan putri itu akan bangun. Ia tidak mungkin memberikan sebuah kecupan untuk membangunkannya. Karena faktanya, ia bukanlah sang pangeran. Jadi yang ia butuhkan hanya menunggu.

Senyum kecut keluar dari bibirnya.  Sebelah tangannya menggoyang-goyangkan cangkir cokelatnya pelan. Ia menyesap cokelat itu dan mendongak untuk menatap pekat sang payung bumi. Lama ia terpenjara dalam dunia heningnya. Merasakan sapuan dingin yang merayap dan mengubah suhu tubuhnya. Ia menikmati suasana ini, menenggelamkan dirinya ke dalam bentang yang tak berujung. Mencoba mencari tenang dalam denyut jantung yang melemah. Mencoba mencari rasa dari manis dalam pahit kuluman saliva.

Setelah puas mendongak, ia menunduk menatap gelap bagai lorong panjang di ujung tanah. Seringai lebar menghiasi dia sudut bibirnya. Ia menyesap cokelat itu lagi hingga habis. Sebelah tangannya menggenggam erat cangkir kaca yang telah kosong.

Kreeekkk...

Bunyi retakan memenuhi indra pendengarannya. Ia mengulurkan tangan hingga menggantung di udara melewati pembatas balkon.

Kreekkk...

Suara retakan kembali terdengar lebih keras. Gelas kaca itu akan remuk dalam genggamannya. Deru napasnya tiba-tiba meningkat. Rahang kokohnya mengeras, menampilkan gurat-gurat halus berliku yang menjalar bagai akar.

Kreekkk...

"Aaarrgh!" Dengan sisa tenaga yang ia miliki, ia melempar gelas kaca itu.

Praaang!

Suara pecahannya mengalahkan nyanyian binatang malam. Tangannya bergetar. Napasnya masih berpacu walau dengan perlahan ritmenya mulai melemah. Samar, ia menyunggingkan senyum kepuasan. Senyum yang telah lama hilang dari bibirnya. Sekarang, hanya gelas kaca yang berhasil ia hancurkan. Itu lebih baik. Jauh lebih baik. Dibandingkan dulu.

Setelah berhasil menetralkan dirinya sendiri dan mencoba mengalahkan emosinya, ia kembali masuk ke dalam kamar. Menatap sang putri tidur yang nampaknya enggan untuk bangun sebelum benar-benar mendapatkan ciuman manis dari sang pangeran. Tetapi sayang, ia tidak yakin bahwa ialah sang pangeran itu. Ia juga tidak ingin menjadi sang pangeran.

Tanpa suara, ia berjalan pelan keluar kamar. Menuju salah satu ruang yang mungkin dapat kembali membawanya ke dalam belai suasana syahdu yang ia rindukan. Ia membuka pintu itu dan menyalakan saklar lampu. Senyum samar keluar dari bibirnya ketika visualisasi ruangan musik menembus retinanya.

Tanpa berpikir panjang, ia mengambil salah satu biola yang diletakkan menggantung di dinding. Mengambil dawainya, meletakkan biola itu di antara bahu dan dagunya. Helaan napas keluar dari bibir tipis itu sebelum ia mulai untuk menggesek biolanya. Ia memejamkan mata, mencoba menyusun nada-nada indah dalam ruang pikirannya.

Tidak perlu lirik mendayu untuk mampu menggoncangkan hati. Cukup melalui alunan gesek dawai yang sederhana, pemainan jari yang lincah, dan terciptalah melodi yang telah lama ia kubur dalam angan. Kini hanya simfoni sebuah biola yang lembut memenuhi ruang persegi ini. Tiap nada yang tercipta, menguarkan sesak. Ketika melodinya usai, ia berharap sesak itu menghilang.

Krieekk...

Gesek dawai terhenti seketika, seiring dengan suara pintu yang terbuka. Tangannya masih menggantung di udara, ia bagai berada dalam freeze mode. Hanya melalui sudut mata ia dapat melihat siapa seseorang yang datang. Sang putri telah bangun dari tidurnya tanpa sebuah ciuman. Ia tidak membutuhkan pangeran.

LaQueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang