Dalam riuh ruangan itu sang balerina merasakan bagaimana euforia megahnya sebuah pertunjukan terbesar yang selalu ia imajikan dalam dunia mimpinya. Kini tak hanya terjebak di dalam ruang imajiner, mimpi itu telah menjadi nyata.
Harusnya ia bahagia kan? Tetapi ia hanya tersudut dalam ruang segi empat itu. Merasa terjebak bersama balerina lainnya yang sedang bersiap-siap. Pandangannya kosong. Panggung megah itu kini bagai sebuah bumerang yang mungkin akan menenggelamkannya dalam riuh tepuk tangan penonton.
Tidak siap, ia tidak akan pernah siap. Segala rasa percaya dirinya hilang tak berbekas. Degup jantungnya berpacu tidak normal. Perlahan ia berdiri, menuju keluar ruangan untuk mencari dua orang yang sangat ia butuhkan.
Senyumnya sedikit terkembang saat melihat dua sosok itu tengah duduk menantinya di depan ruang ganti. Seorang bocah dan lelaki dewasa yang sudah berpakaian sangat rapi. Darius tentu aaja mengenakan jas formal dan telah siap dengan biolanya.
"Apakah kamu sudah siap?" tanya Darius sambil mengedipkan sebelah matanya.
Laquisha hanya bisa mengangguk dan menarik lengan Leon untuk bisa ia peluk. Bagaimana pun pertunjukan ini adalah pertunjukan di mana Leon untuk pertama kali bisa melihatnya secara langsung. Dan ia akan melakukan yang terbaik, meskipun ia tidak yakin dengan dirinya sendiri.
"Qui...." Suara berat itu mengagetkan Qui dan Darius.
Qui dengan cepat melepaskan pelukannya terhadap Leon dan menatap seseorang itu dengan salah tingkah.
"Daddy." Qui menunduk, tidak tahu harus berkata apa ketika melihat Kenny sudah berada di hadapannya. Jantungnya berpacu semakin cepat. Ini... juga pertama kalinya Leon bertemu dengan kakeknya. Tetapi apakah Qui mampu mengatakan bahwa Leon adalah anaknya? Tidak, ia tidak akan pernah mampu membuat Kenny kecewa.
Dahi Kenny berkerut menatap Leon yang memandang lelaki paruh baya itu dengan kilau safirnya. Leon menyunggingkan senyum malaikatnya, sementara Kenny juga membalas senyum itu sambil mengusap rambut Leon pelan.
"Siapa namamu, Nak?" tanya Kenny.
Seketika Qui terdiam. Tangannya dengan erat mencengkeram tangan Leon. Qui menunduk tidak berani menatap Kenny yang saat ini berjongkok agar sejajar dengan tinggi Leon.
"Leon," jawab Leon dengan lancar.
Sejenak Kenny terpaku, namun ia bisa mengendalikan dirinya lagi dan mencoba untuk menyunggingkan senyumnya pada bocah itu.
"Dia adalah keponakanku, Paman." Sepeti tahu ketakutan Qui, Darius segera berdusta. Tangan Darius terulur untuk mengelus kepala Leon hingga bocah itu menoleh ke arahnya bermaksud menyunggingkan protes. Namun dengan satu kedipan Darius berhasil membuat Leon bungkam.
Kenny hanya mengangguk mengerti dan kembali berdiri. Ia menatap Qui penuh cinta sebelum memeluk putrinya itu. "Lakukan yang terbaik untuk pertunjukan terbesarmu ini, sweetheart."
"Pasti, Dad," balas Qui dengan agak kaku.
Kenny melepaskan pelukannya, matanya mencoba menjelajah ke seluruh ruangan seperti mencari sesuatu. "Apakah kalian tidak melihat Queen?"
"Aku baru saja ingin bertanya kepada daddy mengapa daddy tidak bersama dengan Queen?" Qui balik bertanya untuk menguatkan alibi yang ia miliki. Sesungguhnya Qui mengetahui bahwa saat ini Queen bersama drngan Zurri. Entah di mana mereka. Jika sejak semula rencana Qui berhasil menjadikan Queen sebagai sang eksekutor, maka seharusnya Queen sudah menyelesaikan tugasnya.
Tiba-tiba degup jantung Qui kembali berpacu cepat. Penyesalan kembali memenuhi rongga relungnya dan tak menyisakan ruang kosong untuk sang hitam mengikis rasa sesal itu. Rasa ini menyakitkan, menghantam ke dasar ulu dan menyisakan borok tak tersembuhkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
LaQueen
Romance"Ketika cinta tak harus memiliki tetapi juga merelakan..." Kisah kembar Laqueena dan Laquisha, sang pengidap hemofilia dan sang balerina terkenal. Mencoba memaknai arti hidup yang sebenarnya. Mencoba mencari pelabuhan hati terakhir mereka dalam kata...