Suara tetes gerimis menjadi latar keheningan panjang yang tercipta. Mata langit itu kini menatap warna kelabu yang membentang megah di atas cakrawala. Tetapi dinding kaca menjadi batas antara belaian alam dan hawa dalam ruang megah ini. Ruang megah yang mengungkung dua raga yang kini hanya mampu terdiam dalam perasaan mereka masing-masing.Sang lelaki yang terbelenggu dalam kalut, terpenjara dalam rengkuhan rasa takut yang menghantuinya. Sang lelaki juga yang telah terhanyut dalam arus kesalahan yang ia ciptakan sendiri. Kesalahan yang pada akhirnya menyeret hati lain untuk ikut tersakiti dan dihunjam pedih.
Sang perempuan yang terlalu angkuh dan mendominasi. Seperti ular cerdik yang mampu membuat siapa pun dan apa pun takhluk dalam apa yang ia inginkan. Sang perempuan juga yang telah mempermainkan dua hati lelaki yang telah menorehkan perih dalam relungnya. Seandainya dendam itu kasat dalam pandangan, tentu sang lelaki akan melihat betapa besar dendam itu dalam gemggaman jemari sang perempuan.
Laquisha dan Darius, sang lelaki dan perempuan yang terdiam sambil menatap redup langit kota Moskow kala senja menyapa. Menikmati suara tetes gerimis dalam tegang yang menyiksa. Merasakan hawa dingin yang mencengkeram kulit. Darius menggigit bibir pucatnya. Pandangannya kosong, otaknya masih tak mampu untuk berpikir. Ia tidak ingat apa-apa, sejak semua dunianya hilang dalam gelap. Ia bahkan tidak tahu mengapa ia berada di tempat ini hanya bersama Qui.
"Maaf sudah membawamu kemari," ujar Qui dengan seringai tajam yang sepertinya telah menjadi satu ciri khasnya.
Darius diam. Ia tahu suaranya telah kembali, tetapi di hadapan Qui ia kembali bisu. Lidahnya terlalu kelu, seperti ada bongkahan batu yang menghimpit tenggorokannya. Mata pekat itu hanya mampu menatap lurus pada perempuan cantik di hadapannya yang berdiri di samping jendela kaca dengan pandangan yang tak lepas pada langit luas.
"Mom..."
Sebuah suara seorang anak kecil menyentakkan lamunan Darius akan sosok Qui. Ia dengan cepat menoleh ke arah pintu dan melihat seorang anak laki-laki kecil yang melihat Qui dengan pandangan rindu. Kaki kecil itu melangkah pelan menghampiri Qui. Walau ragu, anak itu tetap melangkah maju.
Qui bergeming tanpa menoleh meskipun sempat menegang saat mendengar suara kecil itu. Ia tetap menengadahkan wajahnya untuk menatap langit. Karena ia tahu, ketika matanya menatap mata safir anak lelaki itu, ia tak akan mampu menahan bendungan air matanya. Tangannya terkepal erat, menahan rasa rindu yang membuncah. Menahan dorongan untuk merngkuh anak itu dalam dekapannya. Tidak, untuk saat ini ia tidak boleh kalah dengan perasaannya.
Mata safir anak lelaki itu menatap Darius dengan penasaran. Langkahnya tiba-tiba berhenti. Kini ia berada di antara Darius dan Qui. Jemari mungilnya saling bertaut. Samar, bibirnya membentuk senyum tulus pada Darius. Langkahnya kini mantab untuk menuju pada sosok Darius yang masih mencoba mencerna semuanya.
"Dad...," panggil anak lelaki itu yang sudah berdiri dengan bentang jarak yang begitu tipis dengan Darius. Kedua tangannya terangkat, menunggu sambutan hangat dari Darius.
Dengan rasa bingung yang masih melingkupinya, akhirnya Darius menyambut kedua tangan anak itu dan merengkuhnya ke dalam gendongan. Tanpa malu, sang anak memeluk Darius dengan sayang dan menciumi wajah Darius.
"Mommy menepati janji untuk membawa daddy kembali pulang," bisik anak itu dengan nada bahagia yang meluap-luap.
Darius menaha napasnya. Mencoba mempertahankan dirinya yang akan limbung oleh keterkejutan. Otaknya mulai berfungsi saat ini. Ia mulai bisa mencerna apa yang terjadi. Ngilu itu kbali menjalar dalam relungnya. Sang hazel menatap pedih pada tubuh Qui yang seakan beku oleh dingin. Qui yang tak bergerak dan terus menengadah ke langit dengan pandangan kosong.
KAMU SEDANG MEMBACA
LaQueen
Romance"Ketika cinta tak harus memiliki tetapi juga merelakan..." Kisah kembar Laqueena dan Laquisha, sang pengidap hemofilia dan sang balerina terkenal. Mencoba memaknai arti hidup yang sebenarnya. Mencoba mencari pelabuhan hati terakhir mereka dalam kata...