LaQueen 4

6.6K 542 54
                                    


Mata safir itu menatap lekat sebuah tubuh yang kini tergolek lemas di atas ranjang rumah sakit. Setelah dokter menyuntikkan faktor pembeku darah. Ia tidak menyangka akan berada di posisi ini, lagi. Kejadian ini bagaikan sebuah déjà vu. Kenangan kembali menyapanya dalam belai lembut. Membisikkan bayangan pahit kala ia juga bersimpuh di hadapan tubuh Darius yang hampir kehilangan nyawa ketika kecelakaan itu terjadi.

Sepuluh tahun berlalu, namun kenangan pahit yang ditinggalkan tak akan pernah terkikis. Dan karena kecelakaan itu pula yang telah mengubah pribadinya menjadi lebih keras. Karena... ia dan Darius harus tetap bertahan hidup saat kecelakaan itu juga mengambil nyawa kedua orang tua mereka. Kehidupan terlalu keras yang pada akhirnya membuat dirinya tersedot ke dalam dunia yang tak seharusnya ia jalani. Darius tidak tahu, dan adiknya itu tidak boleh tahu. Cukup ia menyimpan kenangan pahit itu di dalam alam bawah sadarnya. Mencoba menggali kubur atas segala duka yang tercipta, walau ia tahu liangnya tak cukup dalam untuk dapat menghapus bau bangkai kepahitan itu.

"Daddy...." Suara igauan keluar dari bibir tipis Queen. Kehingnya berkerut seperti ia mendapat mimpi buruk.

Ragu, lelaki itu mengulurkan tangannya untuk menyentuh punggung tangan Queen yang ada di atas perutnya. Ia baru menyadari jemari Queen mengeluarkan keringan dingin. Ia semakin berani meremas punggung tangan Queen, mencoba memberikan kehangatan dari suhu tubuhnya.

Kelopak mata Queen bergerak perlahan sebelum menampakkan hazel-nya yang bersinar sendu. Queen seperti masih meraba apa yang terjadi dengannya. Hazel-nya bergerak acak saat ia melihat safir itu telah menguncinya dalam pandangan.

"A-aku—" Queen kehabisan aksara. Deret kata itu hanya mampu menggantung di ujung lidahnya. Ia merasakan aliran kehangatan dari tubuhnya yang dingin. Queen melihat ke arah tangannya dan seketika menarik jemarinya yang ada di dalam genggaman sang dosen. Ia salah tingkah dan mencoba untuk menelan salivanya perlahan.

"Maafkan aku, Laqueena."

Queen menjilat bibirnya sendiri tidak tahu harus menjawab apa dan tidak tahu karena alasan apa sang dosen mau meminta maaf dengannya. Ia hanya diam. Tersedot ke dalam safir yang terus menatapnya tanpa mau memberi jeda pada Queen untuk bisa berpikir jernih.

"Aku tidak tahu bahwa kamu menderita hemofilia," ujar lelaki itu penuh dengan penyesalan.

Queen menunduk dan mengangguk bersamaan, mencoba menghindari safir yang terus mendominasil hazel-nya. Mencoba untuk memberikan ruang pada dirinya sendiri untuk bisa berpikir. "Bukan salah anda, prof."

"Jangan panggil aku professor lagi dan jangan terlalu formal denganku. Aku membayangkan diriku sudah tua sekali dengan rambut yang penuh dengan uban." Rahang kokohnya yang biasa keras itu mengendur perlahan, menampakkan senyum yang belum pernah dilihat oleh Queen karena biasanya Queen hanya mampu menatap seringaian yang begitu kental menjadi ciri khasnya.

"Hmmm... lalu aku harus memanggil apa?"

"Zurri. Cukup panggil aku dengan nama itu saat kita tidak berada di lingkungan kampus." Lelaki itu kembali tersenyum.

Queen balas tersenyum karena pada kenyataannya ia bisa berkomunikasi dengan baik bersama dengan sang dosen yang bernama Zurri. Ia berpikir bahwa hubungannya dengan Zurri tidak akan pernah baik mengingat pertemuan mereka yang tidak mengenakkan. Dan Queen berharap kondisi ini tidak hanya sementara. Karena ia mulai merasakan kenyamanan dan kehangatan dalam tatap safir itu.

"Hhmm... apakah kamu dosen baru?" Queen memberanikan diri untuk bertanya karena sejauh ini ia tidak pernah melihat lelaki itu di sekitar kampus.

"Sudah lama. Hanya saja aku mengambil studi doktorku di New York. Aku baru saja kembali."

LaQueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang