Detik seolah berhenti, semua yang dapat ditangkap oleh mata hanyalah bayangan hitam putih. Suara sepi ini terlalu menakutkan, menajamkan bunyi denyut lemah dalam elektroradiogram. Seseorang di dalam ruang itu sedang berjuang untuk bertahan hidup. Segala alat yang dipasang pada tubuhnya adalah pendorong agar mata itu dapat kembali terbuka.Jemari yang bergetar itu kini hanya bisa meraba batas kaca. Melihat ia yang ringkih dengan jeda jarak yang cukup jauh. Siksa tak terelakkan, sakit tak terbantahkan. Ingin memeluk tubuh itu, tapi tak mampu. Kesalahannya terlalu besar. Jika mata itu kembali terbuka, ia tak yakin akan mendapatkan kata maaf.
Ya, semua salahnya! Apa yang ia lakukan tak pernah benar. Ia selalu membahayakan orang lain, bahkan orang yang ia sayangi. Terkadang berbuat seperti apa yang dituntun oleh otaknya justru membawa kesakitan pada dirinya sendiri. Dosanya kini benar-benar tak terampuni.
Queen kini hanya mampu mengutuki diri. Jemarinya terus menempel pada batas kaca itu. Berharap bahwa Darius merasakan kehadirannya dalam lelap yang cukup panjang dan mengerikan. Sudah lebih dari seminggu lelaki itu tak sadarkan diri. Sementara Queen selalu menunggu, tak pernah berhenti. Ia berharap Darius mampu mendengar setiap nyanyian pilunya.
Mata Queen menatap kosong pada sosok Darius yang terbaring lemah dengan wajah yang begitu pucat. Dokter sampai detik ini masih tak memperbolehkan dirinya untuk masuk. Ia menempelkan dahinya pada batas kaca itu. Memejamkan mata, mulutnya tak henti memanjatkan doa.
Ia tak lagi mampu menangis, karena sakit yang terlalu. Kristal bening dalam dirinya trlah berubah menjadi darah, tergores luka setiap harinya. Masih memejamkan mata, sebelah tangannya meremas dada. Luka ini terlalu kejam menyiksa, mengapa tak mau berhenti? Sudut bibir Queen terangkat, tersenyum dalam perih. Mencoba untuk melawan luka itu.
"Queen?"
Queen merasakan sentuhan pada bahunya. Ia tak bergerak, tetap bertahan pada posisinya. Seluruh tubuhnya telah mati rasa oleh kesakitan. Kini yang tersisa hanyalah kekuatan untuk mengutuj diri sendiri. Bahkan menangis ia tak lagi mampu.
"Queen, ia pasti bisa bertahan. Ia adalah lelaki yang kuat." Seseorang itu memeluk Queen dari belakang. Berharap bahwa pelukannya dapat mengurangi rasa sakit yang dirasakan kakaknya.
"Qui, aku takut." Queen tak lagi bisa menyembunyikan getar dalam suaranya. Pelukan Qui semakin kuat. Bahkan perempuan itu menangis atas kesedihan yang dirasakan oleh saudara kembarnya. "Aku takut ia pergi. Aku takut aku sudah membunuhnya."
Dipeluk seperti ini oleh Qui pada akhirnya merobohkan seluruh benteng pertahanan yang telah dibangun oleh Queen. Gadis itu terisak, menumpahkan lukanya. Bahkan karena luka itu terlalu kejam, Queen jatuh terduduk dengan masih berada di pelukan Qui. Kini Qui mengubah posisinya. Perempuan itu memeluk Queen dari depan dan ikut berlutut di depan kakaknya.
"Kamu tidak membunuhnya, Queen. Semua terjadi karena tidak sengaja. Ia hanya ingin menyelamatkanmu," hibur Qui sambil mengelus punggung kakaknya lembut.
"Seandainya aku tidak berusaha untuk bunuh diri. Ia tak akan menyelamatkanku dan akhirnya jatuh seperti itu!!" Queen menekik tertahan. Dalam kepalanya kini kembali menguar segala visualisasi tentang kejadian kemarin. Saat Darius berusaha menyelamatkannya dari maut, tetapi justru ia yang akhirnya jatuh.
"Semuanya kecelakaan, Queen. Dan aku yakin ia bisa sembuh."
"Kenapa Tuhan tidak membiarkan aku saja yang berada diposisinya?! MENGAPA?!!!" teriak Queen semakin jadi. Jemarinya kuat mencengkeram punggung Qui. Tapi Qui membiarkannya. Ia benar-benar ingin Queen membagikan luka itu padanya.
Gadis itu kini meronta, meraung dalam pelukan sang adik. Nyatanya menangis juga tak manpu meredam luka, justru semakin mengingatkan bahwa luka itu nyata.
KAMU SEDANG MEMBACA
LaQueen
Romance"Ketika cinta tak harus memiliki tetapi juga merelakan..." Kisah kembar Laqueena dan Laquisha, sang pengidap hemofilia dan sang balerina terkenal. Mencoba memaknai arti hidup yang sebenarnya. Mencoba mencari pelabuhan hati terakhir mereka dalam kata...