"Aku merindukanmu," bisik suara itu lembut.
Oh! Sudah berapa musim yang terlewat tanpa belai bisikan yang dihantarkan oleh hati ini? Dengan suara serak penuh kesakitan yang ditumpahkan atas segala rindu. Dengan gelegak bahagia yang ingin menguar bersama dengan erat dekapan.
"A-aku juga merindukanmu," balas Queen terbata.
Tapi tubuhnya beku. Bukan karena dingin yang menjalar, tetapi justru oleh bara yang perlahan terpercik dalam tiap napas yang dirasa oleh tengkuknya. Tanpa sadar matanya panas oleh api, yang menjadikan lidah-lidahnya meluapkan kristal kebahagiaan. Bening yang turun di bukit pipinya mampu membungkam ribuan kata yang ingin diucap oleh bibir.
Lengan itu semakin erat mendekap. Napas itu semakin menderu oleh rindu. Isakan pecah, menyampaikan ribuan kesakitan akan penantian. Tiap detik yang telah terlewat sia-sia tanpa jawaban, kini terbayar lunas.
"A-aku p-pulang," bibir Queen akhirnya mampu berucap dalam getar tangisan.
"Aku tahu," balas suara berat lelaki itu tepat di telinga Queen, lembut. "Jangan pergi lagi."
"A-aku t-tidak akan pergi." Queen menggeleng tegas. Kini ia tak mampu lagi menahan keping rindu yang terpendam. Biarlah membuncah. Biarlah rasa yang mengambil kendali akan jiwa rapuhnya.
Gadis itu berbalik perlahan, ingin menangkap wajah yang tiap detiknya hanya mampu ia sentuh dalam bingkai ruang imaji yang semu. Kini ia nyata, bukan hanya sekedar bayangan. Sementara sang lelaki meregangkan dekapan, siap menyambut gadisnya.
Ledarius Barnaby.
Ia tersenyum. Getir seketika merayap, menghunuskan pisau tajam pada kulit Queen. Senyum itu menyakitinya. Sang lelaki perlahan merentangkan kedua tangan, masih menanti gadisnya untuk kembali meraihnya dalam dekapan. Tetapi rasa sakit itu semakin membekukannya gadis itu justru kembali ditampar oleh beku. Hazel-nya menangkap redup hazel Darius yang tak lagi memiliki binar karena kalah oleh lingkar hitam yang mengelilinginya. Bibir lelaki itu bergetar. Dalam senyumnya, Queen mampu menangkap segala sakit dan air mata yang tak kasat mata. Lelaki itu menyimpan luka. Lelaki itu tak bahagia. Wajahnya tirus dan pucat. Rambut panjang lelaki itu juga telah tiada digantikan oleh rambut pendek yang lebih rapi.
Hazel Queen beralih pada suatu benda yang ada di belakang Darius. Queen segera menunduk, menyembunyikan air mata yang justru semakin menderas. Rasa bersalah menyergapnya. Jika semesta mampu menghukumnya sekarang, ia rela! Ia bahkan rela menggantikan posisi Darius, merasakan luka yang selama ini harus ditanggung oleh lelaki itu.
Semua salahku...
Bisikan nurani menelusup dalam ruang pendengaran Queen. Bahkan hati tak mampu mengelak bahwa ialah sumber penderitaan Darius. Ia yang menebar luka dan segala sakit. Tetapi apa yang ia lakukan? Ia justru pergi, sibuk dengan segala mimpi yang sudah ia dapatkan. Sementara lelaki di depannya ringkih, dengan senyum redup yang berusaha ditampakkan di depan Queen. Senyum yang seolah mengatakan bahwa ia baik-baik saja.
"Aku masih Darius yang sama," ujar lelaki itu sambil menjilat bibirnya sendiri. Berusaha menambah warna pada pucat yang jelas terpatri. Darius masih merentangkan tangan, menunggu dalam senyum yang tak ingin ia pudarkan. Jemarinya bergetar.
"Mengapa menyembunyikan semuanya dariku?!" Sentak Queen tak lagi bisa menahan segala rasa bersalah yang sudah menggelegak di ujung kepalanya, mengalahkan logika.
"Aku tidak mampu mengatakannya padamu, Queen." Darius menggeleng pelan sambil menelan ludahnya sendiri. "Maafkan aku. Inilah aku sekarang, tapi... perasaanku padamu tak pernah berubah." Perlahan, Darius menjatuhkan kedua tangannya, tahu bahwa ia tak akan mendapat pelukan yang diharapkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
LaQueen
Romance"Ketika cinta tak harus memiliki tetapi juga merelakan..." Kisah kembar Laqueena dan Laquisha, sang pengidap hemofilia dan sang balerina terkenal. Mencoba memaknai arti hidup yang sebenarnya. Mencoba mencari pelabuhan hati terakhir mereka dalam kata...