Laquisha menatap nanar dua lelaki dengan bentang usia yang cukup jauh, seorang lelaki kecil yang selalu menjadi permata hatinya, yang pernah berbagi napas dalam rahimnya. Dan seorang lelaki dewasa yang baru saja ia kenal tetapi masih mampu mengusik sisi hati terkelamnya untuk kembali terbuka. Qui menggigit bibir dengan gelisah saat melihat keakraban yang terjalin begitu cepat antara Darius dan Leon. Darius adalah sosok lelaki yang menyenangkan, terbukti Leon bisa dengan cepat menerima kehadirannya. Qui tahu betul bahwa Leon adalah tipe anak yang tidak bisa mudah dekat dengan orang asing, tetapi saat ini berbeda dengan Darius yang mampu mengambil hati Leon dengan mudah.
Dan kini kedua netra Qui terpenjara pada latar di hadapannya. Sebuah latar yang selama ini menjadi bagian dari hidupnya dan juga salah satu sumber kebahagiaannya. Gedung pertunjukan yang masih sepi. Ya, Darius membawa Leon ke tempat ini. Padahal tidak pernah sekali pun Qui membawa anak semata wayangnya ke sini. Bukan ia tidak mau menunjukkan kepada Leon jati dirinya yang sebenarnya, tetapi Qui merasa bahwa belum saatnya Leon mengetahui tentang apa yang ia lakukan untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Suara langkah kaki kecil Leon yang berlari ringan memenuhi gedung pertunjukan ini menyadarkan Qui akan lamunannya. Kedua manik birunya terus menghunjam lurus pada anaknya yang terlihat bersemangat menggelayut manja pada lengan Darius dan mengajak Darius ke atas panggung.
"Mom, Dad, ini luar biasa!" pekiknya dengan kaki kecil yang menaiki tangga di samping stage.
Dengan tak kalah bersemangat Darius mengikuti Leon sambil menyunggingkan senyum bahagianya. Bersama dengan Leon membuatnya melupakan berapa usianya. Ia merasa kembali menjadi seorang anak kecil yang ikut bermain bersama Leon. Menjadikan stage sebagai arena kejar-kejaran bagi mereka hingga lelah nanti menghentikan langkah terakhir mereka. Dan derai tawa pun terkembang memenuhi segala tirai dan ruang ini. Tawa polos dari dua lelaki yang seakan tak memiliki beban.
Tetapi tawa itu justru menampar Qui dengan keras. Membawanya pada penyesalan tak berujung. Penyesalan karena ia begitu licik menjadi seorang manusia. Penyesalan atas dusta yang selalu keluar dari bibirnya. Penyesalan yang entah suatu hari akan membawanya pada malapetaka yang bahkan tak pantas mendapatkan sebuah kata maaf.
Tangan Qui secara perlahan memegang perutnya. Perut yang masih begitu rata. Ya, tentu saja, karena memang tidak ada kehidupan baru di dalamnya. Semuanya hanya sebuah dusta yang ia tujukan untuk pembalasan dendamnya pada Zurri. Sebuah kebohongan yang memaksa Queen harus membenci Zurri. Hanya itu yang bisa ia lakukan untuk menghabisi nyawa Zurri. Tetapi saat ini hatinya seakan terkoyak tanpa sebab. Pikirannya mulai berkelana lagi pada lelaki bermata safir itu. Lelaki yang telah menghadirkan seorang anak yang sudah menjadi separuh napasnya. Lelaki yang membuatnya pernah merasakan bagaimana berjuang menghidupi janin di usia yang sangat muda, meskipun janin itu juga hadir atas kelicikannya.
Memaki diri sendiri mungkin tak akan pernah cukup bagi Qui. Semuanya telah terlambat. Penyesalan selalu menjadi hal yang paling mengerikan di akhir pertunjukan kehidupan. Tanpa sadar setetes kristal bening menuruni bukit pipinya. membuatnya larut dalam isakan ringan yang berusaha ia sembunyikan agar tidak terdengar oleh kedua lelaki yang kini sedang tenggelam dalam dunia mereka.
"Maafkan aku...," bisik Qui tanpa tahu maaf itu tertuju untuk siapa. Karena ia tahu, akan ada banyak hati yang terluka akibat keegoisannya. Berhenti sekarang? Ia bahkan tidak tahu bagaimana cara untuk berhenti.
"Qui, apakah kamu baik-baik saja?"
Qui tersentak saat suara berat itu menelusup dalam ruang pendengarannya. Ia terbelalak saat melihat Darius sudah begitu dekat dengannya dan menatapnya penuh kekhawatiran. Sementara Leon masih betah duduk bersila di atas panggung sambil menatap Qui dan Darius penuh arti.
KAMU SEDANG MEMBACA
LaQueen
Romance"Ketika cinta tak harus memiliki tetapi juga merelakan..." Kisah kembar Laqueena dan Laquisha, sang pengidap hemofilia dan sang balerina terkenal. Mencoba memaknai arti hidup yang sebenarnya. Mencoba mencari pelabuhan hati terakhir mereka dalam kata...