Langit pada hari Sabtu memang terkadang mendung di bulan ini. Sama seperti hatiku saat melangkah perlahan seorang diri di atas tanah merah. Kuncen sudah melarangku ke sini berkali-kali karena takut aku terpeleset.
"Tapi setiap Sabtu, Saya harus bertemu dengannya," tukasku, kemudian Kuncen itu tertegun dan ia membuka gerbang sambil tersenyum meminta maaf.
Mungkin dia berpikir aku orang yang kelewat setia atau apa.
Senyum tipisku mengembang saat melihat nisan dengan namanya tertoreh di sana. Tempat itu masih sama seperti minggu lalu. Hanya ada beberapa rumput liar yang tumbuh, nanti aku akan mencabutnya seperti biasa.
"Halo, Pete. Kangen Kiera 'kan?" aku tertawa kecil dan mulai duduk di dekat pusaranya tanpa peduli bajuku kotor terkena tanah merah.
Tak ada jawaban.
Tapi mulutku tidak berhenti bergerak mengeluarkan suara yang kubuat seceria mungkin.
"Inget gak terakhir kali kita ketemu?"
Hening.
Aku mulai mengingat-ingat sambil menotolkan jari ke dagu, "waktu itu hujan. Kita berdua di mobil. Meski hal yang Kiera inget kita berantem dan akhirnya putus, tapi sampe sekarang Kiera gak tau apa yang kita masalahin."
Helaan nafas keluar dari mulutku.
"Sebenernya, pas Kiera ngusir Pete itu, Pete kenapa? Kenapa Pete gak dateng pas Kiera dirawat di rumah sakit? Apa di hari itu... Pete udah gak ada?"
Tak ada balasan apapun dari pusara tersebut. Mungkin kalau ada balasan, malah aku yang berteriak kaget dan kabur.
Sudahlah.
Aku mulai berdoa, mencabuti rumput liar dan menaruh setangkai bunga matahari.
Mataku menatap bunga matahari itu dengan hati ngilu. Kilasan balik tentang masa di mana kami berdua bahagia menelusup pikiranku.
"Bunga matahari selalu bergerak pada arah mataharinya sendiri," Pete memetik setangkai bunga matahari yang ada di pekarangan rumahnya pagi itu. Dia memberikan bunga kuning cerah itu padaku sambil tersenyum lembut.
"Sama seperti aku yang selalu bergerak ke arah matahariku," sambungnya.
Waktu itu kami masih sahabat, dan perkataan Pete membuat pipi perempuan berumur 15 tahun sepertiku memerah. Saat aku mulai bertanya-tanya di dalam hati apa maksudnya, Pete bertanya.
"Apa kamu mau aku bergerak ke arahmu selamanya?"
Sesuai bisikan hati, aku mengangguk. Pete mengambil tanganku, mencium punggungnya ringan. Di bawah lembayung pagi, kata-kata Pete masih teringat di benakku.
Kata-kata yang membuatku menangis.
Kata-katanya yang membuatku langsung memeluknya.
"I love you at your worst and will hold you at your weakest."
Air mataku sekarang menetes. Tapi aku sudah berjanji pada Pete di saat aku pertama kali berkunjung ke pusaranya, aku tak akan menangis lagi. Jadi, aku mengusap air mataku dan tersenyum.
"Kiera pulang dulu ya. Pete baik-baik di sini. Nanti Kiera cerita-cerita lagi."
Tanpa ada jawaban dari Pete, aku mulai melangkah keluar pemakaman. Tersenyum kecil pada Kuncen yang langsung memberiku tampang simpati dan anggukan kecil.
Pete Danison selalu ada di ruangan kecil hatiku yang sekarang tertutup rapat, karena, kuncinya pun kuhilangkan.
Aku menunggu seseorang menemukan kunci itu.
Hingga orang itu tiba.
Aku bersumpah akan berhenti menjadi seorang heartbreaker.
*
"Ah," sahut kami serempak, terkejut bersamaan.
Aku baru keluar dari pemakaman saat melihat Rafadinata sedang berjalan berlawanan arah denganku. Dia mengerutkan dahinya ketika aku menghampiri orang menyebalkan ini.
Kedua tangan Nata ia masukkan ke saku celananya, "beautiful stalker now in front of me." sahutnya tenang.
Ih, ini orang seneng banget pake bahasa barat apa gimana gitu sih? Nge-sok banget.
"Gue bukan stalker ya, gausah ge-er bisa kali," kataku sinis.
Nata memakai kaus hitam nyaman bergambar tangan yang mengacungkan jari tengah. Well, gambarnya cocok sama kelakuan berandalnya sih. Dia mengenakan celana jeans hitam dan sepatu berwarna senada. Rambutnya acak-acakan seperti biasa.
Oke.
Kenapa sekarang aku mengamati penampilannya? Gak penting banget sumpah.
"Gue kasih catetan ya, Ki. Jangan terpesona sama penampilan gue," sahut Nata tiba-tiba.
"Ki?" aku menggeleng tak percaya, "Lo kira gue Kijoko Bodo apa!"
Nata langsung tertawa kecil sambil memegang perutnya. Matanya seperti bentuk bulan sabit jika seperti itu, senyumnya merekah dan dia punya lesung pipi.
Lesung pipi
Aku suka cowok berlesung pipi, eh, abaikan.
"Tapi serius loh, Ki. Jangan terpesona kayak gue terpesona sama lo," kata Nata kemudian, mengedipkan sebelah matanya.
Dengan cepat aku meninju lengan Nata, "gue gak mempan sama gombalan murahan lo dan please, jangan panggil gue 'Ki'."
Ketika tanganku berada di udara setelah meninju Nata, dia langsung menangkap pergelangannya. "kalo gue gak gombal?"
"Kalo gue gak peduli?" balasku sengit.
"Kalo gue gak peduli lo gak peduli?"
"Mati aja lu." Aku memutar bola mata dan berusaha melepaskan cengkraman Nata. Tapi dia malah semakin menguatkan pegangannya.
Aku meringis, "sakit."
"Trus gue harus peduli?" tanya Nata songong meski dia sudah melepas tanganku.
"Kenapa, sih, lo, kayaknya musuhin gue banget?" tanyaku balik, kesal sendiri. Aku mengusap pergelangan tanganku yang memerah sambil meringis kecil, tapi sepertinya Nata tak peduli sama sekali.
"Mirror please?" dia semakin membalas tak kalah songong.
"Gue gak bakal marah kalo lo gak bisikin gue di stage waktu itu!" seruku emosi.
"Gue juga gak bakal marah kalo lo gak seenaknya jadiin gue target gila lo selanjutnya," kata Nata tenang.
Hening sesaat.
"Peduli amat," sahut kami serempak, berbalik arah bersamaan dan aku mulai berjalan dengan langkah menghentak.
Dasar cowok songong.
Tapi baru saja aku merutuki Nata, suara bariton khas cowok itu terdengar dari kejauhan.
"Sori gue ngebuat tangan lo jadi merah, gak maksud!"
Jantungku berhenti berdetak sesaat.
Jadi dia peduli juga ternyata.
*
[A/N]
makasih 50+ votenya... yaampun ga nyangka<3
KAMU SEDANG MEMBACA
ST [5] - Heartbreaker
Teen FictionDisclaimer: Cerita ini adalah cerita amatir yang memiliki banyak kekurangan. Harap dibaca dengan bijak :) --- Sisterhood-Tale [5] : Kiera Flockheart Bagaimana mungkin, aku, seorang heartbreaker selama satu tahun, baru bertemu Rafadinata yang notaben...