Heartbreaker : (9) Shut Up

68.8K 6.1K 141
                                    

Aku melipir dari kerumunan orang-orang. Tiap hari di koridor memang ramai, makanya aku lebih senang makan siang di kantin saat istirahat kedua daripada pertama. Ini memang istirahat kedua, tapi tetap saja orang-orang ini menghalangiku.

"Lama," Nata menerobos kerumunan dan menarik tanganku.

Mendumal, aku mengikuti kemanapun Nata pergi. Yeah, panggil aku anak itik atau bebek, kenyataannya memang seperti itu.

Kerutan di dahiku semakin dalam ketika Nata menggiringku ke tangga menuju rooftop.

"Jadi lo biasa ke sini?" tanyaku di tangga keenam.

Tangan kami masih bergandengan dan tak ada masalah apa-apa.

"Iya," jawab Nata singkat.

"Pantes."

"Apa?"

"Gak pernah keliatan di kantin," jelasku sambil manggut-manggut.

Nata yang memang ada di depanku menengok, mata cokelat mudanya bersinar jernih. "Lo gak liat gue bawa apa?" tanyanya sambil memamerkan tas tupperware ukuran sedang.

Aku hampir saja tersedak karena menahan tawa, "lo bawa bekel dari rumah."

"Iya. Bikin sendiri. Masalah?" tanya Nata keliatan keki.

"Engga," seringaiku muncul, aku menyenggol bahu Nata yang kembali melanjutkan langkahnya. "Kamu lucu."

Nata bergoyang sedikit karena senggolanku, tapi dia membalasnya dengan cubitan di pipi, "cotz."

"Najis lu dipuji gitu," gerutuku marah sambil mencengkram tangannya kuat-kuat.

Meringis kecil, Nata melepaskan gandengan kami.

"Gausah gitu ya," Nata.

"Bodo." Aku.

"Eh, ngeyel." Nata.

"Daripada lu, gue puji bilang cot. Gue hina nanti bilang makasih. G i l a lu." Aku.

"Tau gak orang bacot kayak apa. Kayak e l o." Nata.

"Mending gue bacot--ah tau ah males ngomong ama lu," aku cemberut dan kami naik ke lantai atas tanpa pembicaraan apa-apa lagi.

Nata membuka bekalnya, tidak seperti yang kuduga (aku menduga dia hanya membawa satu peralatan makan), Nata mengeluarkan dua piring berisi nasi dan lauk.

"Mau makan ga?" tanya Nata sambil menatap lantai.

Dia memang sibuk menuangkan air jeruk ke dalam gelas, tapi aku sama sekali tidak ingin menjawabnya jika dia tidak menatapku.

Mungkin Nata tahu, karena sekarang dia mendongak, "mau ga, Tik?"

"Tik?" tanyaku balik sambil mengerutkan dahi.

"Iye," Nata mengambil sendok dan memukul keningku dengan itu, "i t i k."

"Sial," kataku sambil mengambil sendok di tangannya lalu mengambil piring, "lapar."

Setelah Nata menggerutu, kami makan dalam diam, hanya menatap pemandangan dari atas rooftop. Semilir angin menggoyangkan anak rambut Nata, tapi ia terlihat tak peduli. Padahal aku hampir tersedak saat mengetahui sesuatu.

Nata ganteng kalo poninya tersingkap, pake banget.

Oke, i just said.

Setelah kami selesai makan, Rafadinata merapikan semuanya dan berjalan ke pembatas rooftop. Aku mengikuti dari belakang tanpa banyak bicara.

Maksudku, apa yang harus dibicarakan saat suasana sedamai ini? Sunyi. Hanya ada kami berdua.

"Tau gak kenapa gue sering ada di sini?" celetuk Nata tiba-tiba sambil memandang langit.

Aku mengikuti pandangannya.

Di bawah kesibukan manusia, awan-awan terus berarak lembut tanpa peduli apapun. Mereka selalu damai, seperti kami saat ini yang sekarang melihatnya.

"Kadang gue pengen ada di antara awan-awan itu," sahut Nata pelan.

Aku menolehkan kepalaku pada Nata, tertegun sesaat melihat kedalaman mata cokelatnya yang menerawang.

"Mereka selalu damai. Gaada masalah apapun," lanjut Nata, dia memalingkan kepalanya.

Sekarang mata kami bersitatap.

"Kalo gue jadi awan, lo mau jadi apa?" tanya Nata dengan wajah sok unyu.

"Gue?" aku menyeringai, "jadi langit. Kan langit sama awan selalu bareng."

Nata tertawa dan menyenggol bahuku. "Bisa banget."

"Bisa dong, g u e." Aku tertawa kecil.

Nata merogoh saku celananya, mengambil sebatang rokok. Aku mengernyit, Nata suka sekali merokok. Padahal itu tidak baik dan ada larangan merokok di sekolah.

Tapi rasanya, Nata tak peduli karena dia mulai menghisap rokoknya pelan.

"Lo suka ngerokok ya?" tanyaku.

"Menurut lo?" Sambung Nata sambil menghisap dalam-dalam rokoknya.

"Kan gak baek," kataku pelan.

"Bodo."

"Yau--"

"LO NGEROKOK?!" suara seseorang mengejutkan kami berdua.

Aku tahu suara itu. Suara gugup dan ketakutan milik seseorang yang baru kuputuskan beberapa hari lalu.

Andi.

Sialan.

Dengan gugup dia membetulkan letak kacamata hitamnya. Tangan gemetar Andi menunjuk Nata yang tampak tak peduli, "gue aduin." Lanjut Andi.

Dia beralih padaku, "Ra, lo mau deket-deket sama orang kayak dia?"

"Maksud lo?" tanyaku tak peduli.

Andi menyentuh rambutku, "Ki--"

Tepat pada saat itu pikiranku membuyar. Penglihatanku menghitam dan aku tak bisa mengingat apa-apa lagi selain Nata yang memanggil namaku.

*

"Kena--" Andi menyentuh tangannya yang berdenyut sakit karena ditampar oleh Kiera.

Mata Kiera menggelap, "dont. Touch. Her."

"Maksud--" mata Andi mengerjap saat Rafadinata memeluk Kiera dan membisikkan sesuatu di telinga perempuan itu.

"Kau Kiera. Bukan Rara. Kau Kiera Flockheart dan cinta pertamamu Pete Danison. Ayah dan ibumu menyayangimu," bisik Nata pelan, tak peduli Kiera memberontak dan mencakar punggungnya.

Andi mundur beberapa saat, jantungnya berdegup kencang melihat mata Kiera masih melotot padanya. Nata terus membisiki kata-kata tadi, membuat perlawanan Kiera melemah dan berhenti.

Mata Kiera berubah jernih, seperti bingung dan berada di alam bawah sadar, "Pete ... Kangen ..." Dan kepalanya terkulai lemah di bahu Nata.

Rafadinata menengok ke belakang, ke arah Andi. Pandangannya sama sekali tak terbaca. Tapi Andi tahu, cowok itu marah.

Dan lagi, Andi tahu, hal ini berbahaya bagi dirinya. Apalagi saat perlahan Nata mendekatinya tanpa memutuskan kontak mata.

"Kiera punya dua kepribadian?" tanya Andi berani.

"Lalu kenapa? Mau aduin tentang gue dan Kiera?" tanya Nata balik, menekan setia perkataan yang ia buat sehingga Andi terintimidasi.

Tapi, kali ini, Andi harus berani.

"Ya," jawab Andi, meneguhkan hatinya.

"Oh, gitu?" tanya Nata sambil menyeringai licik, "gue seorang scorpio. Dan saat lo nyari urusan sama gue, gue pastiin lo bakal nyesel setengah mampus, Andi Rahman Putra."

Menelan ludah dengan panik, Andi yakin akan terjadi sesuatu pada dirinya. Apalagi saat Nata keluar sambil menggendong Kiera, hawa dingin dari laki-laki itu membuat bulu kuduknya merinding.

Andi melawan seseorang yang jauh di atasnya.

Sial.

*

[A/N]

thankyou buat 280+ votenya! :')

Selamat hari jumat semuaaa

ST [5] - HeartbreakerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang