"Trevor!"
Langkah kaki Trevor semakin cepat begitu aku memanggilnya dengan keras. Dia berlari ke tikungan kiri. Berpikir spontan, aku ke tikungan kanan. Kami pasti berpapasan di sana.
Benar saja, jalannya terhenti ketika melihatku muncul dari arah berlawanan. Tepat saat Trevor berbalik, aku mencengkram kerah kemejanya.
"Please jangan ngehindar, please," kataku cepat, menatap Trevor dengan pandangan memohon.
Dia salah satu sahabat Pete yang paling dekat. Semenjak kematian Pete, Trevor selalu menjauhiku. Cowok berdarah blasteran yang baru lulus tahun kemarin ini menganggapku seperti virus berbahaya dan patut dijauhi. Padahal aku tak mengerti apa yang terjadi liburan lalu, bahkan aku tak tahu alasan Pete meninggal. Orangtua Pete selalu tutup mulut jika aku bertanya pada mereka, harapanku satu-satunya hanyalah pada Trevor.
Mata biru Trevor menatap kedalaman mataku, kepalanya perlahan bergerak ke kanan dan ke kiri. Setelah itu dia berbisik pelan, "denger, Flo Pete sudah tenang di sana. Kita harus tabah dengan ini. Kamu gak perlu tau kenapa Pete meninggal, itu kuasa Tuhan."
Semua teman Pete memang memanggilku Flo dari Flock sebagai bahan ejekan. Tapi aku tak menpermasalahkan itu, aku hanya ingin tahu alasan di balik meninggalnya Pete!
"Trev," aku menarik kerah bajunya lebih dekat, "tell me. Tell me something I don't know. It's hurting me so bad, gue gak tau apa-apa, gue sama sekali gak inget liburan kemaren. Yang gue inget," meski aku berusaha menahan cairan panas di pelupuk mata, mereka tetap keluar saat aku melanjutkan, "gue bangun di rumah sakit dan Kalva ngabarin kalo Pete udah gaada. Apa lo tau perasaan gue kayak apa?"
"Flo ... "
"Gimana rasanya kalo sesuatu yang berharga dari lo direnggut tiba-tiba? Bahkan lo gak tau kenapa dia bisa diambil paksa."
Trevor menutup matanya sejenak. Tapi melihat keteguhan ketika dia membuka mata birunya kembali, aku melanjutkan.
"Apa yang bakal lo lakuin kalo temen pertama lo, sahabat pertama lo, cinta pertama lo, pacar pertama lo, kencan pertama lo, berubah menjadi suatu kenangan yang gak bisa lo lupain gitu aja?" aku menatap kedalam mata biru itu, "gue sakit, Trev."
"Flo, kau tau apa?" tanya Trevor lembut, sedikit menenangkan emosiku yang menggebu. "Kalau Flo kami tau, itu gak baik buat kamu. Kalau Flo kami tau, kamu gak akan sama dengan Flo yang sekarang. Kalau Flo kami tau," tangan Trevor mengelus rambutku, "Pete akan sedih."
"Tapi-"
"Kamu berjanji kan, gak akan membuat Pete sedih lagi setelah kejadian itu?"
Kilasan balik tentang masa SMP kami kembali terulang di memoriku. Saat Pete dengan paniknya masuk ke dalam kamar rawatku, ketika dia menghembuskan nafas lega melihat aku tak apa-apa dan mengusir semua temannya yang mengelilingi tepi tempat tidur.
"Kenapa sih kamu ceroboh kebangetan?" gerutu Pete sambil menarik kursi, "apa jadinya kamu kalo aku gak ada."
Saat itu aku memberengut dan menarik ujung kemejanya, "Pete sedih, ya?"
"Iyalah."
"Kiera janji deh gak maen ayunan kenceng-kenceng lagi, gak buat Pete sedih lagi," bujukku.
Pete mengerjap, "kamu jatuh dari ayunan?"
Suara tawa kami pecah setelah pertanyaan Pete barusan, tercampur dengan panggilan seseorang di alam bawah sadarku.
"Flo...Flo!!"
"Yeah?" Aku mengerjap saat melihat Trevor berada di sana.
Sial, aku melamun lagi.
"Jangan sering melamun," Trevor menyentuh pipiku dan mencubitnya seperti yang enam tahun belakangan sering ia lakukan jika bertemu denganku. "Aku pulang dulu ya. Tadi ada urusan sedikit di sekolah."
Setelah Trevor pergi dan menghilang di tikungan, aku bersandar pada dinding. Trevor dan sahabat Pete yang lain sudah seperti kakak bagiku, terkadang aku merindukan mereka seperti aku merindukan Kalva disaat ia pergi hiking.
Ngomong-ngomong, Kalva teman mereka juga, Mike, kakak angkat Mikayla juga bergabung dengan kelompok itu.
"Pst. Here."
Jantungku berhenti berdetak.
Suara sialan itu lagi ...
Aku tak berani mengedarkan pandangan ke sekeliling, bisa saja aku histeris saat refleksi diriku melambaikan tangannya. Jadi, aku berlari menuju tempat ramai dengan wajah pucat. Kebetulan bel istirahat berdentang tiga kali ketika aku sampai di depan pintu UKS.
Dengan nafas yang masih terengah, aku masuk ke dalam sana dan menyandarkan punggung di dinding. Pecahan kaca di deeat tempat tidur UKS masih terlihat dari sini, tapi aku tak berani melihat dekat. Aku tak ingin ada orang selain 'aku' di dinding.
Pikiranku terhenti saat bayangan seseorang yang bangun dari tempat tidur UKS bergerak-gerak. Mungkin saja dia hantu. Mungkin dia orang gila yang meniru penampilanku.
Tapi aku langsung mengumpat saat kepala sialan Rafadinata menyembul dari balik tirai, "udah balik lu?" tanyanya.
Aku menghembuskan nafas panjang, "ngaggetin kek e'e lu."
Nata tertawa renyah dan berjalan menghampiriku, dia berjongkok. Aku baru sadar ternyata dari tadi aku terduduk lunglai di dekat dinding.
"Kayak liat setan aja," komen Nata.
"Gue denger suara setan," ucapku serius.
Nata tertawa lagi, tapi melihatku diam saja dia memicingkan mata. "Kayak gimana?"
"Kayak lu."
"Serius, Ki."
"Lagian pake kepo segala."
"Yaudah."
"Yaudah."
Dengan kesal Nata berdiri dan membuka pintu UKS, sebelum pergi dia menengok ke arahku dengan tampang sok coolnya. "Jan lupa gantiin kaca UKS. Dasar bocah."
"Cot," aku membanting pintu UKS dengan kaki, tak peduli sekarang bagian tumitku berdenyut kesakitan.
Sekarang aku sendirian lagi.
"Pst. Here."
Secepat kilat aku membuka pintu UKS, mengaggetkan orang-orang yang berlalu lalang di dekat sini dan aku mulai berlari.
"RAFADINATA TUNGGUIN GUE."
Di kerumunan banyak orang, aku melihat Nata yang memang tingginya melebihi tinggi monas sedang tersenyum padaku seperti berkata.
'Tuh kan, ngikut juga kek anak itik.'
Sialan emang.
*
[A/N]
Thankyou buat 220+ votenya<3
(Brb nyari artikel buat mading)
KAMU SEDANG MEMBACA
ST [5] - Heartbreaker
Teen FictionDisclaimer: Cerita ini adalah cerita amatir yang memiliki banyak kekurangan. Harap dibaca dengan bijak :) --- Sisterhood-Tale [5] : Kiera Flockheart Bagaimana mungkin, aku, seorang heartbreaker selama satu tahun, baru bertemu Rafadinata yang notaben...