Jadi, dengan satu tarikan nafas, aku menjawab, "be my boyfriend. Just simple as that."
Dan aku merasakan pelukannya semakin erat. "Kalo itu mau lo, yaudah," perkataan Nata tadi membuatku ingin menonjok, tepat di wajahnya.
"Ih, najis, masa gitu," protesku, melepaskan pelukan kami dan melihat Nata sinis.
Nata tertawa kecil. Mataku mengerjap saat melihat rona merah juga ada di pipinya. Astaga, jadi, cowok ini bisa blushing juga.
Aku kembali ke tempat tidur dan Nata duduk di tepinya, masih tertawa. Cemberut, aku pun menarik selimut, berbaring dan membelakangi Nata. Sialan, dia kira aku badut hingga ditertawakan senista itu.
"Cie, marah, cie," Nata menggoyangkan bahuku dengan tangannya, aku mendengar masih ada sisa tawa di sana.
Aku, kan, perempuan. Meski heartbreaker sekalipun, aku juga masih berharap pernyataannya romantis. Atau, yang bisa membuatku ingat tentang hari ini.
Tapi sepertinya orang gila yang masih tertawa itu tidak mengerti sama sekali.
Tiba-tiba saja aku mengingat pernyataan perawat tadi, dengan tawa jahat dalam hati, aku berbalik menghadap Nata. "Eh, tadi ada suster yang ke sini."
Nata berhenti tertawa. Dia mengatupkan bibirnya sebelum bertanya, "trus-trus?"
"Dia bilang, lo marahin suster ama dokter yang jaga, gara-gara gak GC. Lo bilang ... gue pacar lo."
Inilah sepersekian detik yang baru saja terjadi. Pertama, wajah Nata mulai berubah menjadi merah. Kedua, dia berdiri dari posisi duduknya. Selanjutnya, Rafadinata berlari ke arah pintu. Terakhir, suara debaman pintu karena Nata membantingnya membuat tawaku meledak.
Ternyata, sisi manis Nata tetap saja tak berubah.
Aku makin suka.
*
Selama beberapa hari dirawat, keadaanku makin membaik. Nata terus di sisiku selama itu meski tahu sekolah sudah kembali dimulai. Mama dan Papa yang jarang terlihat juga menjengukku dan menetap sementara di Jerman. Orang yang harus kuinterogasi malah tidak menunjukkan sosoknya, kau tahu siapa.
Kalva.
Aku yakin, Kalva tahu tentang masalahku dan Pete setahun silam. Dia pasti mengerti rahasia dibalik meninggalnya Pete. Aku hanya harus memaksanya.
Tapi, saat aku dan Nata berada di bandara untuk pulang ke Indonesia. Kalva tak terlihat. Bahkan, keadaanku yang sudah pulih tak membuat semangatku naik. Aku ingin tahu semuanya, sekarang.
Nata yang ada di samping baru menyadari sikap diamku ketika kami masuk ke pengecekan tiket. Dia melihatku sementara petugas sedang mengambil tiketnya, "lo kenapa?" tanyanya.
Aku bersandar di bahu Nata. Senyumku muncul sedikit, ternyata punya cowok seperti Nata enak juga. Bahunya nyaman untuk tempat bersandar. "Kalva gak dateng-dateng, Ta."
"Oh, lo kangen?" pertanyaan sinis dan merajuk milik Nata membuat aku mencubit pinggangnya.
Ketika kami sudah 'official', dia jadi lebih posesif daripada Kalva atau siapapun di muka bumi.
Sempat ada perawat laki-laki datang ke kamar rawatku untuk mengecek kesehatan. Nata berdiri di dekat sang perawat, memberikan tatapan laser padanya sambil menyilangkan tangan.
Ketika sang perawat dengan terburu-buru keluar kamar setelah berhasil mengecek kesehatanku, Nata berteriak dengan lantang. "Besok-besok, kau tak perlu datang. Pesankan perawat WANITA saja. Aku tak sudi kau menyentuh dia. Dia pacarku, tahu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ST [5] - Heartbreaker
Teen FictionDisclaimer: Cerita ini adalah cerita amatir yang memiliki banyak kekurangan. Harap dibaca dengan bijak :) --- Sisterhood-Tale [5] : Kiera Flockheart Bagaimana mungkin, aku, seorang heartbreaker selama satu tahun, baru bertemu Rafadinata yang notaben...