"Maksud lo?" tanyaku dingin, menatap kedua manik mata Andi.
Seringai Andi semakin lebar ketika aku memakan umpan yang ia berikan, "liat aja nanti."
Ketika Andi ingin berlalu melewati kami, aku tak tahu apa yang terjadi. Karena, sepersekian detik, terdengar rintihannya. Mataku mengerjap, lalu melihat Nata yang menyilangkan kedua tangannya, sementara Andi terkapar di lantai sambil memegang perut.
"Lo apain dia?" tanyaku kepo, untung saja lobby hotel sedang sepi. Jika orang-orang melihat kelakuan kami, sudah pasti aku akan dikirim ke Jakarta lagi.
"Gue tinju," jawab Nata singkat sambil melenggang pergi, seolah hal itu sudah biasa ia lakukan.
Oke, dia memang bad boy. Ini bukanlah perkara sulit bagi Nata untuk menjatuhkan lawan.
"Eh, tunggu!" Aku mengekor di belakang Nata, tidak mau ditinggal sendirian dengan Andi yang terkapar di lobby.
Nata menengok, tersenyum sekilas, lalu mengedikkan bahunya ke arah lift. "Ke roof top, yuk. Kayak biasa."
Kayak biasa.
Sejak hari dimana aku menantangnya bermain game, aku memang selalu makan siang bersama Nata di rooftop sekolah. Tapi, ini bukan sekolah, apa harus ...
"Gue lagi pengen ke atas, gak mau gak ada lo. Udah, ayo," Nata menyeret tanganku ketika aku masih mematung. "Lama-lama lo telmi."
Mataku melotot, memangnya siapa dia, berani-beraninya menilaiku! "Lama-lama lo kek ee."
"Eh, anak cewek ngomongnya."
"Lo duluan."
Nata berhenti berjalan, menatap mataku sesaat. Ketika aku bersikukuh pada pendirianku, dia menghela nafas panjang. Sepersekian detik, aku tak sadar apa yang ia lakukan karena tiba-tiba pandanganku hanya dipenuh oleh kemeja birunya.
"Sori, oke? Gak usah ngambek kayak anak cewek."
Tapi, aku baru sadar, dahiku hangat.
Dan sekarang, dari dahi menjalar ke pipi.
Damn.
"Kenapa jadi patung?" tanya Nata, menahan tawanya.
Rasanya pipiku memanas karena Nata terus-terusan melihat pipi dan dahiku. "LO NGAPAIN SI MAIN NYOSOR AJA."
Tawa Nata menyembur dengan indahnya, --pakai nafa sarkastik kalau mau--. Dia menyeret tanganku lagi, kali ini tak berbicara apapun.
Aku melihat profil Nata dari samping.
Dia ganteng, kulitnya putih, dari samping hidungnya mancung, pandangan matanya tegas dan bibirnya terkatup rapat. Jika dilihat lebih jeli, kedalaman mata cokelat Nata, samar-samar terdapat warna hijau terang.
Oke, aku menilai penampilannya bukan berarti suka pada Rafadinata.
Kami sampai di rooftop, karena aku dan Nata diam, rasanya lama sekali sampai ke sini. Aku memikirkan beberapa hal yang akan dilakukan Nata, tapi pikiranku terputus ketika tiba-tiba ia berbalik.
"Balik badan," suruhnya, mataku mengernyit.
"Ogah."
"Buru," ketika Nata memutar bola matanya, aku memutar juga.
Dia mendengus kesal, "jangan ngikut."
"Bodo."
"Yaudah," Nata mengeluarkan sesuatu dari saku belakang celananya. Tangannya terkepal sehingga aku tak tahu apa yang ia keluarkan. Saat Nata mendekat, dengan waspada aku mundur beberapa langkah.
KAMU SEDANG MEMBACA
ST [5] - Heartbreaker
Teen FictionDisclaimer: Cerita ini adalah cerita amatir yang memiliki banyak kekurangan. Harap dibaca dengan bijak :) --- Sisterhood-Tale [5] : Kiera Flockheart Bagaimana mungkin, aku, seorang heartbreaker selama satu tahun, baru bertemu Rafadinata yang notaben...