'Car, lo di mana? Gue kejebak sama orang gila di taman pusat karnaval ini. Lo ke sini dong please, jangan biarkan daku diabisin sama dia:('
Setelah mengirim pesan pada Carmen, aku mengantungkan ponsel di saku celana jeans. Sesekali aku melirik Nata yang tengah menghisap batangan putih mematikan. Sepertinya spesies itu tak acuh karena sekarang menjadi pusat perhatian banyak orang.
Oh, dia dan aku terbiasa diperhatikan orang, sih.
"Kenapa lo ngintilin gue?" tanya Nata tanpa mengalihkan pandangannya; menatap lurus ke depan.
Aku tak menjawab. Maksudku, dia bertanya pada siapa, coba?
Dasar, Gila.
"Jawab, Coi," sahut Nata lagi.
"Lo nanya sama siapa, Brader? Eh gajadi Brader deh, ogah gue punya Brader kek lo," aku menimpali sambil memutar bola mata.
Perlahan, mata cokelat Nata melirikku. Kedua jarinya bermain pada batangan rokok sebelum menghisapnya. Cepat-cepat aku menutup hidung saat hembusan asap keluar dari mulut Nata.
Aku benci baunya, juga dengan orang yang menghisapnya.
"Kenapa lo ngintilin gue?" Nata mengulang pertanyaannya lagi. Bedanya dia melihatku sehingga pembicaraan ini gak salah alamat.
Baguslah.
"Gue ngintilin lo karena luaran lo bagus diliat kalo lagi jalan gini," aku mengangkat bahu tak acuh, "lagian temen gue pada ilang semua."
Jadi, begini. Ternyata aku menabrak bahu seorang Rafadinata saat terpisah dengan Carmen. Dia juga kaget saat melihatku. Entahlah, pokoknya begitu hingga kita bisa berada di taman sambil duduk santai.
Tapi kayaknya cuman aku yang santai.
"Jawaban lo, unexcepted. Jadi lo tipe cewek yang liat luaran gue doang apa gimana?" tanya Nata tenang sambil menghisap puntung rokoknya dalam-dalam. Setelah itu membuangnya dan menginjak rokok tadi dengan sepatu miliknya.
Aku tertawa mendengar pertanyaanya. "Gue gak mungkin jadi tipe cewek yang liat hati cowok. Gue aja masih ga bisa liat hati gue kayak apa, masa gue harus belek badan lo buat liat hati lo kayak gimana."
Rafadinata tersenyum tapi tak mengatakan apa-apa. Senyumnya oke juga, hm, oke banget.
Sebelum ini, sebenarnya aku sudah mencari tahu asal-usul seorang Rafadinata. Dia anak tunggal dari pasangan miliarder yang bekerja sebagai CEO apalah itu, aku tak peduli. Kedua orangtuanya tidak ada di Indonesia, entah di benua mana.
Yah, bisa ditebak tingkah berandalannya seperti itu karena apa.
Nata memiliki mantan yang jumlahnya hampir sama denganku. Dia terbiasa hidup glamour. Dikelilingi harta tak berguna. Kehidupannya hanya terpusat padanya. Sering bergaul tapi tak punya satu sahabatpun. Berandal. Aku baru tahu ada spesies seperti ini di sekolah karena aku anak IPA dan dia Bahasa. Bahasa terkenal tidak dikenal siapapun.
Juga, keinginan Nata terbiasa dipenuhi.
Dan aku ingin mematahkan hal terakhir yang tadi kukatakan;
Aku ingin membuat keinginan Nata tak bisa dipenuhi.
"Gue denger lo player," sahutku tenang dan terkendali.
Nata menaikkan kedua alisnya, "baru tau?"
Aku tersenyum, dia memakan umpanku. "So, let's play a game."
Keheningan Nata membuatku melanjutkan, "let's sweet talk. Let's play fight. Let's tell each other good morning and good night every day. Let's take walks together. Let's give each other nicknames. Let's hang out with each other friends. Let's go on date. Let's talk on the phone all night long. Let's hold each other. Let's kiss and hug.
And whoever falls in love first?" aku berdiri, mengacak pinggang sambil mengangkat alis, menantang Rafadinata.
Nata ikut berdiri dan memasukkan kedua tangan ke saku celana, dia menunduk untuk menatapku tepat di mata.
"Keinginan gue biasa terpenuhi. Dan gue yakin, keinginan gue kali ini, untuk ngebuat lo jatuh, itu gampang banget," Nata tersenyum meremehkan dan menepuk pundakku. "Kita berdua player, Kiera Flockheart," sambungnya.
Aku berbisik di telinga Nata, "Dan double player harus bermain layaknya player. Ha."
Nata menjauh hanya untuk tertawa keras sambil memegang perutnya. Aku rasa dia gila, maksudku, apa yang lucu dari bisikanku tadi? Aku bicara serius tadi.
"Oke," Nata menyeka air mata ketawanya, "gue rasa kita takdir. Udah tiga kali ketemu di tempat yang gak terduga."
Deg.
Eh, apa Dek?
Ah, pokoknya jantungku serasa jatuh ke bawah.
Kenapa dia malah membicarakan hal itu? Takdir, tiga kali, dan kebetulan adalah kata-kata yang selalu mengingatkanku tentang Pete.
Pete Danison.
Padahal baru kemarin aku mencabuti rumput liar di makamnya, tapi aku ingin pergi ke sana. Menemui Pete tiap minggu dan berdoa adalah kesenangan tersendiri bagiku.
Jentikan tangan seseorang langsung membuyarkan lamunanku yang sudah menjalar kemana-mana. "Tik-tok. Kok kamu ngelamun?" tanya Nata dengan wajah melembut.
"Ngapain lo-" tunggu, dia sedang akting? Oh, permainan tadi sudah ia terapkan. Okelah kalau begitu.
Aku tersenyum dan menggamit lengan Nata, "gak apa-apa kok. Cuman inget sesuatu aja. Kamu mau pulang? Eh, aku minta nomer telepon kamu dong."
Setelah saling menukar nomor telepon, aku berpisah dengan Nata karena kami memang membawa mobil sendiri-sendiri. Sebelum pergi, aku berjinjit dan dengan berani mencium pipinya.
Nata mengerjap dan ikut mencium ujung kepalaku.
Permulaan yang bagus dan untung saja aku tak membiarkan hatiku untuk ikut berperan.
Tak berapa lama, aku bertemu Carmen di parkiran. Wajahnya pucat dan terlihat lega setelah melihatku. Tanpa banyak bicara kami masuk ke dalam mobil. Dia sesekali melirikku yang tengah menyetir. Carmen seperti ingin bilang sesuatu tapi tertahan hingga kami sampai di rumahnya, "tadi lo bareng Nata 'kan? Apapun yang lo rencanain bareng dia, semoga lo yang menang."
Dan Carmen menutup pintu mobilku tanpa mengucapkan sampai jumpa seperti biasa.
Aku terpekur di tempat.
Pasti, aku yang menang.
Lihat saja nanti.
*
[A/N]
Hai... apaan ya. makasih buat 100+ votenya<3
gila moodboster banget
maap kalo si kiera ama nata jadi gimana gitu....hhhh pasangan player emang
LA
KAMU SEDANG MEMBACA
ST [5] - Heartbreaker
Teen FictionDisclaimer: Cerita ini adalah cerita amatir yang memiliki banyak kekurangan. Harap dibaca dengan bijak :) --- Sisterhood-Tale [5] : Kiera Flockheart Bagaimana mungkin, aku, seorang heartbreaker selama satu tahun, baru bertemu Rafadinata yang notaben...