Heartbreaker : (15) Care

66K 5.9K 50
                                    

"RARA, LO GILA," aku mulai menggedor cermin tersebut berharap Rara menghentikan kelakuan kurang warasnya. Mata Rara yang tadi terpejam menahan sakit perlahan terbuka, tenggorokanku tersekat melihat genangan air mata berada di pelupuknya.

"Aku tidak berguna," kata Rara seraya memejamkan matanya lagi, "memori itu juga sama tak bergunanya."

"Maksud lo apaan sih?" tanyaku penasaran.

Rara mengatakan hal seolah aku tahu semuanya, sementara pada kenyataan aku tak mengerti apa yang ia maksud.

Kedua tangan Rara dengan kuat menumpukan badannya untuk terangkat, sehingga kepalanya bisa lepas dari jeratan tali gantung. Dia bergelantungan sesaat, lalu turun dengan melompat secara halus.

"Aktingku bagus 'kan?" tanya Rara sambil tersenyum layaknya monalissa.

Saat jemari lentiknya tengah menjalin kepangan sialan itu, darahku mendidih karena amarah. Seenaknya dia mengerjaiku! "Lo pikir itu lucu?!"

Kepala Rara mendekat dengan kedua tangan berkacak pinggang, "lucu? tentu saja!" Dan dia mulai menyemburkan tawanya.

Aku memutar bola mata melihat tingkah menyebalkannya. Seharusnya aku tahu dia tidak mungkin mati.

Maksudku, dia hanya bayangan. Tak lebih dari itu.

Ekspresi Rara yang berubah drastis membuatku mengerutkan dahi, "kenapa?" tanyaku.

"Aku memang hanya bayangan," kata Rara, mengangkat bahu, "itulah kenapa aku ingin menguasai tubuhmu. Lalu menguncimu dalam-dalam di dirimu sendiri. Contoh mudah adalah, kau melihat perbuatanmu, tapi tak bisa bergerak sesuai keinginanmu. Intinya," mata Rara menggelap, "aku jadi kau, kau jadi aku."

"Gila," kataku sinis.

Aku selamanya tak ingin jadi bayangan! Memikirkan aku terjebak di dalam tubuhku sendiri membuat bulu kudukku merinding.

Rara tertawa halus dan meninggalkanku sendirian sambil melambaikan tangannya. "Aku tak sabar menunggu hari itu tiba."

Wajah dalam bayanganku di cermin mulai berubah menjadi 'aku'. Kutepuk berkali-kali kedua pipi, sambil menyumpah kenapa mukaku lebih pucat daripada mayat.

Nyatanya, aku masih takut dengan kehadiran Rara.

*

"Jadi, lo mau jawab apaan?" tanyaku pada Rafadinata ketika kami sudah duduk manis di Secret Cafe, ditemani dua jus mangga.

Sebenarnya kami berdua terkejut karena memiliki obsesi yang sama pada jus itu.

Nata meminus jus mangga dengan khidmat, lalu tersenyum najong, "enaaaaak."

Sisi unyu nya Rafadinata keluar, Saudara-Saudara.

Dengan cepat Nata berdeham dan kembali menormalkan ekspresinya, "lo ngomong apaan tadi?"

"Jawaban dari pertanyaan gue kemaren." Jawabku rada males.

"Yang mana?" tanya Nata dengan polosnya.

BUNUH SAJA AKU.

"Yang ituuu, masa lupa," kuputar bola mata, menandakan aku bosan dengan cara Nata bertele-tele.

"Yang lo nembak gue?"

"KAPAN GILA." Aku menggebrak meja hingga semua mata melihat ke arahku. Sambil tersenyum meminta maaf pada mereka, mataku kembali melirik ganas seorang Nata. "Gue. Gak. Pernah. Nembak. E l o."

"Pernah kok."

"Kapan?"

"Dalam mimpi gue," Nata tersenyum sok sambil memainkan ujung rambut cokelatnya, "dan lo di sana gak seganas ini."

ST [5] - HeartbreakerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang