Kalau ada orang yang tidak ingin hari ini cepat berlalu, jawabannya adalah ... aku. Yang lebih parah, aku juga membujuk seorang Rafadinata untuk melakukan misi gila ku yaitu ... tour malam.
"Ini udah malem, Bego. Kalo ketauan, leher gue taruhannya," reaksi pertama Nata di lift setelah acara 'pengalungan pita berlonceng', saat aku mengajaknya kabur.
Aku ikut mengernyit ketika tampangnya berkata seolah aku orang gila yang datang dari bulan. Tapi, aku menghentakkan kedua kakiku seperti anak kecil yang ingin permen. "AYOLAH AYO."
"Anjrit," dia menutup telinga dengan kedua telapak tangannya saat aku bersuara di dekat daun telinga Nata. "Sumpah, berurusan sama lo itu--"
"Nata," aku memberinya tampang paling memelas yang kupunya.
Dia menelan ludah. "Oke, lo pinter dalam ngebujuk seseorang. Tapi, bukan berarti gue--"
"Sekali ini, aja," kataku lagi, berpose memohon dan menginginkan belas kasihan.
"Kiera, bukannya gue gak mau. Tapi ini berbahaya--"
"Pleaseee," aku menarik-narik ujung bahu kemeja biru Nata, sekali lagi ia menelan ludah dan melihat ke arah lain.
"Oke. Tapi jangan--"
"YEAAAY. I LAFYUUU!!" dengan kekuatan gajah aku menepuk kedua pipi Nata, lalu berlari-larian di sekitarnya. Untung saja, ruangan lift hanya kami berdua. Aku bisa bertingkah gila sepuasnya.
"Tunggu, I love you?" pertanyaan Nata membuat segala aktivitas gilaku terhenti, aku menoleh padanya.
Seringai Nata mengembang, "I love you?"
Meski aku tahu apa maksudnya, tetap saja aku berpura-pura dengan mengernyitkan dahi. "Love you too?"
"Eh," dengan jengkel Nata menarik tanganku, "lo sadar gak, sih, tadi lo bilang apa?"
Kugelengkan kepalaku dengn perlahan. Dia melepas tanganku lalu mengernyit. Punggungku mundur ke belakang ketika kepalanya mendekat. Matanya berkilat, mencari tahu apa yang ada di kedalaman mataku lalu tersenyum.
"Lo inget. Lo inget lo bilang I love you ke gue."
Aku menyerah. Aku lupa dia punya cara untuk mengetahui apa yang ada di mataku. Hanya dia, bahkan Pete pun tidak.
"Itu cuman bercanda," kilahku.
"Trus kenapa lo tutup-tutupin tadi?" tanya Nata.
Aku memainkan ujung rambut dengan gugup, "refleks."
"Mungkin itu yang ada di hati lo, dan lo gak sadar udah ngungkapin itu ke gue." Senyum soknya berkembang, "jadi, kalo gitu gue yang men--"
"Ya, gue suka sama lo, tapi sebagai temen," ucapku langsung.
Dan yang tidak terduga, senyum itu berubah menjadi raut wajah kehilangan. Seperti saat aku tahu Pete sudah tiada. Semua dunia, yang aku berikan untuknya, hilang. Semua cerita kami, yang tersimpan rapat di time capsule, sudah tak ada gunanya karena jika kubuka sekarang hanya akan mengundang tangis pedih. Semua hal itu, sekarang terlihat di raut wajah seorang Rafadinata.
"Oh, oke," tepat ketika pintu lift terbuka, dia keluar dengan cepat tanpa mau melakukan kontak mata padaku.
Aku terkesiap. Dia marah?
"Tunggu, kita harusnya--"
"Jangan sekarang," Nata berbalik sesaat, lalu berjalan lagi. "Gue butuh waktu buat sendiri," tambahnya.
Sekarang yang hanya bisa kulihat adalah punggung tegapnya. Yang makin lama makin mengecil karena langkahnya terlalu cepat. Pintu lift perlahan menutup, otomatis aku tidak melihat bayangan Nata lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
ST [5] - Heartbreaker
Teen FictionDisclaimer: Cerita ini adalah cerita amatir yang memiliki banyak kekurangan. Harap dibaca dengan bijak :) --- Sisterhood-Tale [5] : Kiera Flockheart Bagaimana mungkin, aku, seorang heartbreaker selama satu tahun, baru bertemu Rafadinata yang notaben...