Nata termangu beberapa saat setelah pertanyaanku barusan. Dia mengusap tengkuknya dengan salah tingkah. "Gue--"
"Lo gak mungkin boong sama player laen 'kan?" tanyaku seraya menekankan setiap kata.
Hembusan nafas yang terdengar pasrah milik Nata membuat senyumku mengembang. Aku yakin dia tak mungkin bungkam terhadap pertanyaanku tadi. Sekarang aku hanya perlu menunggu apa yang akan Nata jawab.
"Jangan di sini, oke? Masalahnya panjang. Ketemu di Secret Cafe besok sore bagaimana?" tanya Nata serius.
Agak kaget juga saat aku tahu Nata mengenal Secret Cafe, tempat aku biasa berkumpul dengan semua temanku. Tapi, kenapa aku tak pernah melihatnya, ya?
Aku akhirnya mengangguk, berkata "terserah" meski pertanyaan tadi ada di ujung lidahku.
Nata tersenyum, menarik tengkukku sehingga kepalaku terdorong ke depan. Aku tak mengerti apa yang ada di pikirannya saat Nata mencium dahiku. Lalu, dia mencubit pipiku, melayangkan satu senyum lagi lalu masuk ke dalam mobilnya.
"Good night, Heart!" Kata Nata seraya menurunkan kaca mobil dan melambaikan tangannya.
Aku hanya mengangguk pada Nata. Bahkan aku tak sadar sudah membukakan pintu gerbang untuknya. Saat mobil silver itu melaju membelah jalan di malam yang temaram, aku mengetahui satu hal.
Dahiku menghangat.
Pipiku juga.
*
"Jadi lo mulai deket sama Nata-Nata itu?" tanya Carmen saat ia berkunjung di kelasku pada jam istirahat pertama.
Aku meneguk ludah susah payah. Ini benar-benar menggelikan jika aku mengingat kejadian tadi malam. Maksudku, Demi Tuhan, kenapa rasanya sangat amat familiar di ingatanku? Aku tak pernah bertemu Nata sebelumnya, tapi kenapa ada sesuatu yang berbeda saat pertama kali kita bertemu?
Tidak, aku bukan manusia yang sedang jatuh cinta dan mulai berandai-andai tentang kemungkinan ternyata kami berjodoh.
Aku hanya ... penasaran, itu saja. Tak lebih dari rasa ingin tahu.
"Woi, ngelamun," sahut Carmen gondok karena aku masih bengong ayam.
Kalau kalian bertanya bengong ayam itu apa, aku juga tak tahu.
Mataku mengerjap, "gue gak deket. Ya kali, kayak lo gak tau gue aja," sergahku langsung.
Matanya menyipit, ia mengangguk setelah beberapa lama. Carmen mengucapkan kata yang membuatku bungkam.
"Pete udah gak ada. Kalo lo tetep gak mau buka hati lo, kapan lo mau ngelupain masa lalu itu? Kapan lo berhenti berpura-pura dalam topeng senyuman sementara lo pengen nangis? Kapan lo berhenti merasa gelisah setiap saat? Kapan lo berhenti nyembunyiin tangis lo di dalam selimut? Kapan lo, relain Pete dan melangkah maju ke depan? Lagipula, Pete bakal sedih kalo lo tetep batu."
Setelah berkata seperti itu, Carmen berdiri dari posisi duduknya di hadapanku lalu mulai berjalan keluar kelas. Aku tertegun di tempat, sadar semua yang ia katakan adalah kebenaran. Banyak sekali rasa kagumku pada Carmen, karena pasalnya aku tak pernah memberitahu itu semua.
Kecuali soal Pete yang sudah tiada.
Selama sisa jam pelajaran, aku tidak bisa menangkap apa yang diucapkan para guru. Mereka semua seolah boneka yang bergerak ke sana ke mari, tanpa berbicara meski mulut komat-kamit. Aku memikirkan perkataan Carmen, dari awal sampai akhir. Meski kuputar ulang perkataannya di benakku, sampai sekarang aku tak bisa mendapat titik temu.
Darimana dia tahu?
Kenapa sampai sekarang aku tak bisa merelakan Pete?
Apa yang ada di pikiranku sebenarnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
ST [5] - Heartbreaker
Teen FictionDisclaimer: Cerita ini adalah cerita amatir yang memiliki banyak kekurangan. Harap dibaca dengan bijak :) --- Sisterhood-Tale [5] : Kiera Flockheart Bagaimana mungkin, aku, seorang heartbreaker selama satu tahun, baru bertemu Rafadinata yang notaben...