Seperti keajaiban, ketika aku mengerjapkan mata, tak ada lagi suara hujan. Aku bebas bergerak dan suasana di dalam mobilku tergantikan oleh dinding putih kamar rawat.
Nafasku tidak teratur. Jantungku berdetak lebih cepat. Aku bangkit dari posisi tidur. Gerakanku terhenti ketika aku merasakan beban di sekitar lengan.
Untuk beberapa saat, aku tertegun.
Sosok Rafadinata yang tertidur dengan kedua lengan yang dilipat sebagai bantalnya mengalir lembut menuju mataku. Entah kenapa, membuat sang jantung berdetak lebih cepat. Aku yakin, kali ini beda dengan yang tadi.
Detakan cepat ini menenangkan.
Meski lengan Nata menimban lenganku membuat kesemutan, tapi, aku tak mempermasalahkannya. Aku sendiri tak tahu kenapa.
Kuamati wajah Nata, tampak polos dan damai. Bulu mata Nata lentik, warnanya senada dengan rambut cokelatnya. Pipinya merah, kontras sekali dengan kulit putih di sekitarnya. Aku agak jengkel melihat bibir Nata agak keunguan, dia pasti masih sering merokok.
Lain kali, ingatkan aku untuk berbuat nakal dengan menyembunyikan rokok-rokok sialan milik Nata itu.
Aku terkesiap ketika seseorang membuka pintu kamar rawat, membuat tanganku yang ingin menyentuh rambut Nata terhenti. Ternyata orang itu adalah perawat. Aku tersenyum padanya sekilas, dia membalas sebelum mengecek perkembangan kesehatanku.
"Sudah bangun rupanya," ucap perawat dengan suara lembut, aku melirik name tagnya. Namanya Lilly.
Aku menjawab perkataannya dengan susah payah. Kalau kau lupa, aku tak bisa berbicara bahasa Jerman. Paling banter, hanya bisa memahami maksud sang pembicara.
"Ya, terima kasih," perawat itu tersenyum maklum pada cara bicaraku yang masih patah-patah. Ia lalu melirik Nata seraya membereskan peralatan kerjanya.
"Pemuda itu, menungguimu selalu sejak ia membawamu ke rumah sakit ini. Bahkan, ia tak peduli kakinya terluka. Ia hanya mencemaskan suhu tubuhmu yang meningkat drastis," perawat itu lagi-lagi tersenyum, "kau beruntung memilikinya."
"Tunggu," aku berdeham seraya meyakinkan bahwa pipiku tak memanas. "Dia bukan milikku dan aku tak pernah menjadi miliknya."
Perawat itu mulai tertawa seolah elakanku tadi adalah sebuah kebohongan. "Jangan malu. Aku tahu itu semua, karena perkataannya."
"Perkataan apa?" tanyaku penasaran, menelan ludah dengan lambat.
"Dia bilang ...," perawat itu menotolkan jari ke dagu, "apa ya ..., hm. Oh, ya! Dia bilang, 'tolong urus dia. Hey, Dokter yang disana! Jangan bengong, panggil suster! Sampai kau membuat pacarku semakin menunggu, kugorok lehermu.' begitu, lucu sekali 'kan?"
Aku melongo sambil mengerjapkan kedua mata. Kurasa, perawat itu lebih cocok bergelut di dunia akting karena ekspresinya mirip sekali dengan Nata ketika marah. Si Perawat Jago Akting pamit untuk keluar kamar. Aku hanya mengangguk, masih dengan mulut terbuka.
Sekarang, aku canggung sendiri.
'Sampai kau membuat pacarku semakin menunggu, kugorok lehermu.'
Pacarku.
Pacar aku.
Pacar milikku.
Tunggu, sejak kapan aku menjadi pacarnya?
Suara desahan seseorang membuat pikiranku teralihkan. Aku menengok, lalu menelan ludah. Rafadinata sudah membuka mata dan sedang mengucek dengan kedua tangannya. Tak lama, dia berhenti melakukan aktivitas itu ketika bersitatap denganku.
"Eh, sejak kapan lo bangun?" tanyanya dengan nada malu. Nata menggaruk kepalanya yang kuyakin tak gatal. "Gue--tunggu di luar aja."
Sepersekian detik ketika Nata berbalik badan, aku menahan lengannya untuk tinggal. "Di--di sini aja."
"Oke, ta-tapi--"
"Se--serius. Gak apa-apa."
Nata kembali duduk. Tapi, aku mengernyit ketika jaraknya agak jauh denganku. Dia duduk di sofa. Pandangannya ke arah lain, seolah tak ingin membuat kontak mata denganku.
"Something wrong?" tanyaku bingung. Nata bertingkah tak biasa, malah sekarang dia terlihat gugup.
Tak lama, ia menghembuskan nafasnya. Nata berjalan mendekat, kedua tangannya terbuka lebar. "Pe--peluk?"
Pipiku memanas, sial.
"Lo kenapa, sih?" aku kembali bertanya.
"Udahlah, cuman peluk pake repot," sungut Nata, mulai kembali normal, nih anak.
Setelah menggerutu, aku memeluknya. Kedua tangan panjang Nata mendekap kepalaku. Aku tak tahu apa yang kurasakan, hanya saja ada sesuatu yang berbeda ketika kami saling melengkapi.
Kepala Nata bersandar di bahuku, dia menghembuskan nafas lega di sana. "Gue sekarang yakin ini bukan mimpi."
Aku tersenyum. "Maksud lo?"
"Gue cuman takut, lo bukan lo saat udah bangun. Gue takut lo beda. Gue takut, satu-satunya orang yang ada buat gue diambil paksa."
Aku tak bisa melakukan apapun selain tersenyum. Nata bisa menjadi sangat manis jika ia mau. Entah kenapa, jalan pikirannya seperti anak kecil yang belum tahu apa-apa.
"Ngomong-ngomong soal acara tadi gima--"
"Jangan ngomongin itu, oke?"
Nata pasti tahu sesuatu yang tidak kuketahui. Tapi, mungkin dia tidak ingin membicarakannya sekarang. Aku tidak mengerti kenapa--
"Ra, misalkan gue kalah, gue harus apa?"
Pertanyaan Nata selanjutnya cukup membuat jantungku berdetak lebih cepat. Aku tahu apa maksudnya. Aku juga yakin dia memastikan aku memiliki perasaan yang sama.
Jadi, dengan satu tarikan nafas, aku menjawab, "be my boyfriend. Just simple as that."
Dan aku merasakan pelukannya semakin erat.
*
[A/N]
THIS IS NOT THE END HAHAHA
THANKYOU: buat kalian kalian yang kece masih mau membaca cerita nista ini, lovelove.
MAYBE: gue bakal ngeupload PS [6], as soon as posibble. Tapi kalo PS [5] selesai aje yegak?
VOTEVOTE!: kalo bisa sampe 1.5k vote, bakal gue upload PS [6]. But, this is not a requirement. Gue tetep upload PS [6] kalo PS [5] udeh selesai, jika ganyampe 1.5 vote. Cuman ngetest lo lo pada doang, sih, gue wakakaka. Oke gue mulai gila dan ini semakin ngespam, so, see you♡
JUST NOTE: chappy ini ngebosenin dan gakerasa feelnya...but I work my best, so, yaudeng
KAMU SEDANG MEMBACA
ST [5] - Heartbreaker
Teen FictionDisclaimer: Cerita ini adalah cerita amatir yang memiliki banyak kekurangan. Harap dibaca dengan bijak :) --- Sisterhood-Tale [5] : Kiera Flockheart Bagaimana mungkin, aku, seorang heartbreaker selama satu tahun, baru bertemu Rafadinata yang notaben...