Hujan.
Seliweran orang berlalu-lalang di jalanan. Banyak yang menutupi kepalanya dengan tangan. Ada juga yang santai karena mereka memakai payung. Mereka pasti ingin cepat-cepat sampai ke rumah dan meringkuk di dalam selimut.
Begitu pula aku.
Kepalaku berusaha untuk tetap melihat langit kelabu dari balik kaca yang ada di kafe ini. Meski berusaha sekeras apapun, aku masih mendengar suara tawa mereka. Tawa yang menandakan, ada dan tidaknya aku sama saja. Tawa yang menandakan bahwa aku telah tersisihkan.
Aku tak peduli.
"Lo inget waktu kita nyari kodok buat praktek biologi?"
Kita. Perempuan itu menyebut dirinya dan dia dengan kata kita.
Laki-laki di sebelahku tertawa, "gue inget! Ya ampun, itu bener-bener momen yang gak bisa gue lupain."
Yang gak bisa dilupain. Aku merapal kata-kata dia dalam hati. Jadi, lelaki ini mengingat tentang perempuan itu sedangkan mungkin, ulang tahunku pun tak dia ingat?
Despicable.
Despicable.
"Kiera, kok dari tadi diam?" seakan tersadar, lelaki itu menengok ke arahku.
Aku menatapnya datar, lalu beralih pada perempuan di hadapan kami. Perempuan itu cantik, tampak dewasa, dan anggun. Pakaiannya tak terbuka tapi menunjukkan aura menawannya. Rambut brunette perempuan itu dijalin menjadi satu dengan indah. Dia tidak memakai polesan make-up apapun. Mungkin itu daya tariknya sehingga laki-laki di sampingku tertarik. Mungkin dulu, mereka adalah sahabat yang saling mencintai tapi terhalang karena perempuan itu pindah ke negara lain.
Sekarang mereka bertemu, sialnya, love story mereka terhalang olehku, mungkin.
"Kak Sakta, aku pulang ya," aku mencoba tersenyum pada laki-laki di sampingku, Sakta namanya. Kakak sahabatku, Carmen.
Sakta tampak bimbang. Mungkin dia ingin mengantarku pulang karena tahu aku tak membawa kendaraan. Tapi di satu sisi dia harus menemani perempuan itu dan kembali mengobrol setelah lama tak berjumpa.
Aku tak ingin menjadi penghalang.
Jadi, sebelum Sakta berbicara, aku langsung meraih tas dan pergi. Sebelumnya aku sempat membalas senyum pada perempuan beruntung itu.
Mungkin, rasa sukaku pada Sakta bukanlah cinta. Jika aku mencintai Sakta, seharusnya aku cemburu pada mereka dan menangis di trotoar sekarang. Yeah, seperti kisah menyedihkan dalam film. Dimana sang perempuan menangis karena cintanya bertepuk sebelah tangan.
Tapi tidak. Aku tak merasakan apapun pada Sakta. Malah, aku merasa lega telah melepas laki-laki itu.
Aku mencoba mencintai Sakta, tapi Tuhan berkata lain.
Aku tak mencintainya seperti Sakta tidak mencintaiku.
*
"KIERAAA!!"
Begitu aku mendengar teriakan maha dahsyat dari teras rumah, senyumku berkembang. Dengan cepat aku mengambil tas lalu turun dari lantai dua. Sekarang hari minggu, dan sudah menjadi rutinitas kami berdua untuk pergi.
Mataku mendapati sosoknya di teras rumah. Dia Pete. Sahabat sekaligus tetangga di sebelah rumahku. Sejak kecil kami selalu bersama. Sampai sekarang.
Jika kau penasaran, aku bisa memberitahu detail wajah Pete. Dia memiliki rahang tegas, mata elang yang lembut berwarna hitam, serta bibir tipis yang sangat ganteng jika tersenyum. Pete seperti tokoh sempurna dalam film-film disney channel.
KAMU SEDANG MEMBACA
ST [5] - Heartbreaker
Teen FictionDisclaimer: Cerita ini adalah cerita amatir yang memiliki banyak kekurangan. Harap dibaca dengan bijak :) --- Sisterhood-Tale [5] : Kiera Flockheart Bagaimana mungkin, aku, seorang heartbreaker selama satu tahun, baru bertemu Rafadinata yang notaben...