Forget the Point 2

69 3 0
                                    

Akhirnya pembicaraan terhenti karena Kevin dan kak Vino tak suka dengan pertanyaan kedua orang tuanya.

Selama di perjalanan, cesil duduk di samping kak Vino. Kedua orang tua Kevin duduk di belakang kursi sopir dan aku duduk di bangku paling belakang bersama Kevin. Aku berbaring di pangkuan Kevin. Dia sibuk membelai kepala ku.

"Vio, pacaran yuk" kata Kevin.

"Bukan kah kita sudah seperti orang pacaran sekarang?" Tanya ku.

"Iya sih. Tapi akan lebih enak kalau ada status. Lagi pula aku lebih nyaman dari pada Vic kan?"

Aku langsung bangun dan menatap ke matanya.

"Ayo lah. Kita semua setuju untuk berhenti membahas tentang dia"

"Iya aku tau. Makanya, bisa kah kau lepaskan aku dari jeratan tanpa status mu ini?"

"Baiklah, coba kau nyatakan perasaan mu seromantis mungkin. Aku akan menerima mu kalau kau berhasil membuat ku meleleh"

"Vio, aku bukan lelaki yang romantis. Waktu itu aku membuat sebuah rencana yang kurasa romantis untuk mu. Kau ingat saat kita ke cafe dan kau bertemu Vic lagi?"

"Iya, kenapa? Jangan bilang lau berencana menembak ku saat itu"

"Tebakan yang tepat! Dan kau tau saat kita pergi ke taman hiburan sampai malam tapi kita terpisah?"

"Saat Vic menembak ku?"

"Ya! Harusnya aku yang menembak mu saat itu. Tapi semua gagal"

"Sabar ya hehehe. Tapi aku menyimpan cincin mu kok"

"Kau simpan bersama kalung dari Vic?"

"Tidak"

"Lalu?"

"Diam bisa gak sih? Dari tadi berisik terus. Mau tidur nih!" Bentak ku sambil menyandarkan kepala ku padanya.

Kevin menghela napasnya. Sebenarnya aku tak tega dengan itu semua. Tapi aku benar-benar malas membahas Vic sekarang. Datang di kehidupan SMA ku, menghilang ke luar kota, datang lagi ke kehidupan perkuliahan ku, dan sekarang dia pergi lagi. Itu lah Vic yang ku ketahui sekarang.

"Kevin, mau makan apa?" Tanya tante Rahma, ibu Kevin.

"Steak jamur aja ya ibu" jawab Kevin. Aku langsung melihat kearah Kevin dan memeluknya.
Senang sekali jika hari ini makan makanan kesukaan ku.

"Ehem! Pacaran terus dari tadi!" Bentak kak Vino.

Aku langsung melepas pelukan ku. Wajah ku memerah karena di penuhi rasa malu.

"Jadi gimana? Mau steak aja?" Tanya om Dirga, ayah Kevin.

"Iya yah, kesukaan Vio. Cesil juga paling pesen sup. Kalau kak Vino sih cuma bisa ngikut" kata Kevin.

Mobil menepi pada sebuah cafe elit di deretan kota. Aku terkejut saat melihat ada motor yang cukup ku kenal disana. Sepertinya itu motor milik Vic. Astaga Vio, kau harus berpikir positif. Pabrik motor tidak membuat produk hanya satu.

Tapi baru beberapa langkah saja aku masuk, seekor kucing meloncat kearah ku. Untung aku bisa menangkapnya. Tidak! Ini Vio kecil. Jangan bilang disini ada...

"Vio!" Teriak Emi dari salah satu meja. Aku dan Vio kecil menoleh bersama.

Kalau ada Vio kecil pasti ada Emi. Dan jika ada Emi pasti ada, Vic. Aku menatap wajah Kevin, berusaha untuk membuatnya mengerti bahwa aku tak ingin berada di sini. Tapi sialnya Emi justru menghampiri ku.

"Hei Vio, apa kabar? Vio kecil langsung lari tadi. Ku pikir dia akan kabur, ternyata dia mencium keberadaan mu" kata Emi sambil mencoba mengambil Vio kecil. Sayangnya kucing nakal ini tetap menempel pada ku.

Kenapa harus aku??Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang