Infinity 2

56 2 0
                                    

Aku membelai bulu lembut Vio di ruang tamu. Papa dan Mama baru saja pulang. Wajah mereka tampak sedih.

"Ada apa Pa, Ma?" Tanya ku.

"Gak apa-apa nak" jawab papa. Tapi tetap saja ada rasa sedih di matanya.

"Apa ada sesuatu yang kurang baik?" Tanya ku lagi. Tapi papa langsung pergi begitu saja menuju kamarnya.

Mama mendekatiku dan meletakkan lengannya di pundak ku. "Ayah mu hanya lelah kok Vio. Udah sana kamu siap-siap ke kampus. Ada kelasnya pak Eka kan hari ini?" Kata Mama.

"Ah iya ma!!" Aku langsung melempar Vio kecil ke kursi dan bersiap-siap untuk ke kampus.

Aku memutuskan untuk naik taksi dan menitipkan Vio kecil ke penitipan kucing. Jujur saja, aku ingin mengurangi pertemuan ku dengan Kevin. Dia sering membuat ku takut sekarang.

Sesampainya di kampus aku langsung masuk ke kelas dan pura-pura belajar. Cesil duduk di samping ku dan melihat buku ku.

"Kenapa baca buku terbalik?" Tanyanya.

Aku langsung membalik buku ku. "Hehehe, kan belajarnya pura-pura hehe" jawab ku sedikit malu.

"Apa Kevin memperkosa mu kemarin?" Tanyanya lagi.

Aku langsung melotot kearahnya. "Apaan sih? Jangan ngaco deh Sil!"

"Kak Vino bilang kemarin Kevin terlihat senang sekali. Dan dia sering tertawa jahat. Jadi ku pikir dia berhasil mendapatkan mu"

"Mendapatkan ku bukan berarti memperkosa ku kan? Kevin tak senekat itu"

"Kau hanya belum tau sifat Kevin yang sebenarnya. Kak Vino bilang pada ku untuk terus menemani mu dan juga mengawasi Kevin. Dia mulai gila!"

"Ah ayolah jangan membuat ku takut"

Tiba-tiba pak Eka masuk dan mulai mengajar. Pembicaraan ku dengan Cesil terhenti.

Di sela-sela pelajaran, ponsel ku bergetar. Ada pesan dari Kevin.

From : Kevin
To : Vio

Kenapa kau berngkat naik taksi? Kan aku bisa mengantar mu. Pokoknya pulangnya ini nanti harus bersama ku.

Astaga, Kevin benar-benar merepotkan. Aku tak bisa membayangkan jika aku benar-benar menjadi pacarnya.

From : Vio
To : Kevin

Iya-iya! Cerewet ah!

Aku langsung kembali fokus ke depan. Tapi tetap saja percuma.
Sekarang ada dua lelaki yang hinggap di pikiran ku.

"Viorentina! Jangan mainan ponsel!" Bentak pak Eka.

Aku langsung menjatuhkan ponsel ku. "Iya pak, maaf"

"Kemarikan ponsel mu!"

"Jangan pak, ini harta karun saya pak"

"Bawa sini!"

Aku langsung berdiri dan memberikan ponsel ku pada pak Eka dan kembali ke tempat duduk ku.

"Anda kurang beruntung" kata Cesil.

"Aku bisa mengambilnya setelah ini. Kuharap sih. Pak Eka terlalu kejam"

"Apakah tadi sms dari Kevin?"

"Iya, dia marah gara-gara aku berangkat naik taksi"

"Cuma gara-gara itu?"

"Iya. Dia semakin aneh sekarang. Aku heran kenapa dia bisa kehilangan sikap manisnya"

"Setauku dia sedang latihan sepak bola sekarang"

"Dari mana kau tau?"

"Aku pernah suka padanya. Apa kau lupa itu?"

Aku mulai tertarik. Ini pertama kalinya Cesil mengajak ku bicara tentang cintanya. "Eh eh iya, ceritain dong. Kok bisa suka sama Kevin sih? Sejak kapan? Kalau dari dulu kamu bilang kan aku gak mungkin deket-deket Kevin. Eh eh dan juga, kak Vino sepertinya sangat suka pada mu deh. Dia itu usaha gak sih? Tapi kelihatannya.."

Tiba-tiba pak Eka berteriak, "Vio!! Keluar dari kelas bapak!!"

Aku benar-benar terkejut dan langsung pergi keluar dari kelas. Kenapa pak Eka sensitif sekali pada ku? Apa salah ku coba? Aku kan cuma ngerumpi sebentar.

Karena bingung mau kemana, akhirnya aku menuju lapangan sepak bola. Tadi Cesil bilang kalau Kevin sedang latihan.

Tapi sialnya, saat aku berjalan menuju bangku tepi lapangan sepak bola, sebuah bola dengan mulus jatuh mengenai kepala ku. Ahhh ini benar-benar sakit. Aku menoleh kearah bola itu datang.

"Woyy!! Kalau nendang tuh ke gawang!! Jangan ke muka orang!!! Bisa main bola gak sih! Bodoh banget jadi orang!!" Bentak ku.

Ternyata yang menendang tadi adalah mahasiswa baru. Dia terlihat takut. Penampilannya sangat culun dan tak mencerminkan pemain bola sedikit pun.

Aku langsung mendekatinya dan melotot kearahnya. "Inget baik-baik ya anak kecil! Kau itu baru aja lulus SMA. Berani-beraninya nendang ke kepala orang! Pikir dong!!" Bentak ku lagi.

Dia menunduk. Tubuhnya setara dengan tinggi badan ku. "Maaf senior" katanya pelan.

"Hei hei hei nenek lampir galak amat" kata salah satu teman Kevin.

"Biarin! Nih anak ngeselin! Siapa sih coach nya?" Tanya ku.

"Tuh yang dari tadi ketawa di deket tiang" jawabnya.

Aku melihat kearah tiang dan ternyata Kevin lah yang tertawa dari tadi. Benar-benar mengesalkan!! Aku langsung merebut bola dari tangan anak sialan itu dan menendangnya kearah Kevin. Tapi sialnya dia berhasil menangkap bola itu.

Kevin berjalan kearah ku sambil terus tertawa tak henti-henti. Bola yang ada di tangan nya membuat ku kesal.

"Wah wah Vio ku galak amat sih" katanya.

Aku tetap diam. "Sakit bodoh!" Bentak ku. "Gimana sih cara mu ngelatih dia?! Udah tau ada orang lewat kok di gituin!"

"Hahaha, jadi kau tak terima ya Vio? Sakit?"

"Iya lah!"

"Oh jadi yang salah anak ini ya? Dia memang sering melalukan kesalahan jadi sekarang dia harus menerima balasannya" kata Kevin.

Dia melempar bola yang ada di tangannya dan mendekati junior tadi. Terlihat jelas di wajah junior itu rasa takut yang sangat tinggi. Tiba-tiba.. Brukkkk.. Anak itu terjatuh ke rumput karena mendapat pukulan yang sepetinya cukup kuat tepat di pipi kanan anak itu.

Aku terkejut dan tak bisa berkata apa-apa. Tepi bibir anak itu berdarah. Aku benar-benar tak menyangka Kevin melakukan itu semua.

"Kevin, tumben berani gitu di depan Vio?" Tanya temannya.

Kevin mendekati ku dan menatap mata ku dalam-dalam. Sesekali dia mengepalkan tangannya. "Gadis ini sudah tau semuanya. Jadi, tak ada yang perlu disembunyikan lagi sekarang" kata Kevin.

Aku benar-benar tak bisa berkata apa-apa. Baiklah, ku akui aku suka melihat lelaki berkelahi. Tapi bukan mengintimidasi yang lemah. Kevin hanya membuat ku takut. Ku harap dia tidak sakit jiwa.

"Aku ganti baju dulu setelah itu ku antar kau pulang" kata Kevin. Dia berjalan pergi.

"Oh iya," dia berbalik dan melihat kearah ku penuh ejekan. "Obati saja dia jika kau mau. Bukan kah itu sikap pura-pura baik mu, Vio si peri dari negeri dongeng?" Ejeknya sambil melempar kotak obat kecil pada ku.

Aku menangkapnya dan terdiam. Ini kotak obat yang ku belikan untuknya saat sebelum menghadapi ujian. Aku benar-benar merindukan Kevin yang dulu.

Tapi aku tetap bisa membedakan mana yang mustahil atau yang tidak.

---------------

Kenapa harus aku??Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang