Hari Minggu tiba.
Saat sarapan, Tata mengajak semua orang untuk mengunjungi tempat wisata lokal di sekitar sana. Erza menyetujuinya. Awan pun mengangguk. Hanya Jingga yang menggelengkan kepala sambil merenung.
"Kenapa, Ga? Mau ketemu Atlanta lagi?" bisik Erza.
Sayangnya, Erza langsung ditatap nanar oleh Awan. Jingga sendiri mengabaikannya.
"Ih, Mas cuma bercanda! Peace, Neng!" katanya sambil menjulurkan lidah dan membentuk angka dua dengan jarinya.
Melihat kelakuan seniornya, Jingga hanya tersenyum.
"Ga, kenapa, sih?" tanya Tata.
"Nggak apa-apa." Jingga tersenyum sambil mengacak-acak rambut Tata yang dipotong seperti potongan rambut laki-laki. "Sana, Mbak jalan-jalan aja. Saya lagi ga mood."
***
Bukannya Jingga tidak ingin bersenang-senang, tapi ada hal yang harus ia selesaikan terlebih dahulu.
Ia sedang berada di gerbang depan kompleks perumahannya. Ga banyak berubah, ya....
Seluruh kenangannya keluar. Ia dijewer ibunya ketika pulang sore, ayahnya yang bereskpektasi terlalu tinggi, adiknya yang hamil saat SMP akibat orangtuanya membebaskan pergaulannya,kekangan rumahnya....
Ia memberanikan diri untuk melangkah. Lambat laun, ia berhenti di depan rumah sederhana. Ia mendorong pagar dan berjalan menuju teras.
Pada saat itulah pintu dibuka. Seorang wanita muda dan anak kecil keluar dari sana.
"Lo, Kak Hani--"
Wanita muda itu, yang merupakan adik Jingga, masuk ke rumah dengan langkah cepat. Ia melupakan anaknya.
"Tante siapa?" kata gadis kecil itu.
Pasti anak adikku, batin Jingga sambil berusaha untuk tetap menjaga air mukanya.
"Tante kok mirip Mama? Cuma Tante pake kerudung, Mama nggak."
"Tante kakaknya Mama, Sayang."
Jingga mengelus rambutnya.Walaupun masih kecil, anak itu mewarisi sifat berani dari ibunya. Ia tak takut dengan keberadaan Jingga, namun matanya yang berkilat-kilat terlihat waspada.
Pintu dibanting dan tiga orang keluar sekaligus. Ayahnya, ibunya, dan adiknya. Jingga menelan ludah. Kali itu, ia tak bisa mundur lagi.
***
Hening. Suasana mencekam. Tak ada yang mulai berbicara. Jingga membisu, ayahnya jelas sekali sedang menahan marah, dan ibunya tampak menyesal.
"Diminum, Nak," ujar ibunya.
Jingga mengambil gelas minuman. Ia menatap isinya dengan masygul. Ia takut ibunya telah mencampurkan sesuatu ke dalam sana, Jingga tak sadarkan diri, lalu ia dipancung dan tak boleh keluar lagi. Bukannya Jingga sedang berhalusinasi, tapi orangtuanya memang mampu merencanakan itu. Merasa superior, padahal tak ada apa-apanya!
"Nggak ada apa-apanya."
Ayah Jingga sosok yang paling bisa membacanya, angkat bicara. Sungguh, jika orang di depannya ini sudah mengalahkan egonya sendiri, ia sudah menjadi orang yang paling Jingga sayang di dunia ini.
Dengan cepat, Jingga menghabiskan minuman di gelasnya.
"Ke mana saja, Nak?"
Jingga melihat mata ibunya basah. Ibunya adalah satu dari sedikit sosok terkeras yang pernah ia temui, yang pernah menyiksanya, yang mengekangnya.
"Kuliah dan kerja."
"Kakak tahu, nggak, Kakak dicariin selama ini? Nggak jelas keberadaannya di mana, tahu-tahu pergi setelah lulus. Bikin serumah panik, lho."
Banyak kata makian yang berseliweran di pikirannya, namun ia hanya membalas, "Kalau Kakak nggak keluar rumah, Kakak ga akan bisa kaya gini."
"Apa maksud kamu?"
Kali ini, ayahnya yang berujar. Suaranya meninggi.
"Ayah pasti mengetahui maksudku."
"Bekerja tidak jelas? Seperti ngelonte?"
"Ayah!" seru adiknya.
Jingga memijat kepalanya. Posisinya serba salah. Jika ia melawan ayahnya, ia menjadi anak durhaka. Jika ia tak menjawab, haknya direnggut. Karena ia tak memiliki pilihan, akhirnya ia menjawab, "Ah, tak jadi. Aku kembali saja. Kukira Ayah akan menerimaku setelah pekerjaanku jelas."
"Tak ada yang lebih jelas dari menjadi dokter!"
"Tapi aku tak mau!" seru Jingga. "Aku senang bekerja seperti sekarang. Mengapa Ayah tak suka? Mengapa Ayah harus mengaturnya?" Ia bergenti sejenak sebelum berteriak, "AKU YANG BERJALAN DI HIDUPKU, BUKAN AYAH! JIKA AYAH TAK SUKA, TAK USAH BERKATA APAPUN! AKU YANG AKAN MENANGGUNG RESIKONYA SENDIRI, BUKAN?"
Jingga keluar. Ia tak lupa membanting pintu depan. Sia-sia saja dia kembali, karena ayahnya masih sok berkuasa!
***
Pisan: sangat
KAMU SEDANG MEMBACA
Jingga | ✓
RomanceSemburat jingga. Awan yang berarak. Petang menjadi semarak ketika keduanya bertemu. Sore menjadi megah, senja menjadi indah. Ini adalah kisah Jingga dan Awan yang berjalan beriringan dengan segala kekurangan untuk membuat sore tak terlupakan. Me...