#14

840 42 0
                                    

"Mas Awan, laporannya sudah jadi, bukan?"

"Sudah, Tha, tolong terjemahkan ke Bahasa Inggris, ya."

Tata menoleh. Ia mengira Awan sedang memanggilnya. Rupanya, ia tengah berbicara dengan sang engineer bangunan darat baru. Kalau ia tak salah ingat, namanya Acantha Himawan.

Dari jauh, ia melihat Jingga yang sedang berjalan menuju mejanya dengan langkah terburu-buru. Bahkan, Banu (yang sedang menyetel lagu Maroon 5 kesukaannya lewat earphone) sadar dengan Jingga yang sudah sangat gaduh.

"Jingga! Ada apa?"

Jingga menggelengkan kepalanya. Ia menatap Tata dan mengangkat bahu.

Ini maksud Jingga apa ya?

Tanpa memedulikan teman-temannya, ia memasang headphone dan melanjutkan pekerjaannya. Tiba-tiba, sebuah pesan masuk ke grup teman-teman satu komunitas yang pernah ia ikuti saat SMA.

Rani: Eh, masih inget sama Kak Lita, nggak? Yang pas lulus SMA langsung menghilang begitu saja.

Ridwan: Yang mana, ya, Ran?

Rani: Kalau ga salah, namanya Lita Amalia.

Jingga: Gue ingeet dia keluar bareng gue waktu itu. Orangtua kita sama-sama protektif.

Rani: Sama sih latar belakang, nasib aja yang beda. Kak Lita ngirim surat ke orangtuanya setelah bertahun-tahun. Dia masih hidup ternyata.

Ridwan: Esumpah

Jingga: APA?!

Marchella: Serius?

Rani: Iyaa ini gue baru dikabarin adiknya.

Semi: Gilaa gue kangen Lita masa. Apa kabarnya?

Rani: Kak Lita ga ngabarin apapun. Cuma bilang masih hidup dan jangan dicari. Kata adiknya sih cap suratnya dari Moscow.

Semi: Gila emang. Ngilang bertahun-tahun, tau-tau udah di Eropa.

Jingga merenung. Lita adalah rekannya di komunitas menulis se-Indonesia yang tak terlalu besar. Mereka bagaikan anak kembar yang terpisahkan oleh jarak. Orangtua mereka sama-sama protektif. Saat orangtua mereka mengetahui bahwa mereka diam-diam mengikuti komunitas menulis, mereka sama-sama ditarik dan dipermalukan oleh orangtua mereka. Rasanya sudah lama sekali sejak ia terakhir kali mendengar nama Lita. Syukurlah wanita yang lebih muda setahun dari Jingga itu masih hidup.

Jingga mengangkat muka. Awan sedang menatapnya dari sela-sela sticky notes. Karena ia sudah tak terlalu mood, ia tak menghiraukannya.

***

Awan lembur lagi, sedangkan Jingga sudah pulang. Saat tengah memeriksa draft perencanaannya, Haris menepuk pundak Awan.

"Lembur ogé?" tanya Haris.

Awan mengangguk tanpa menoleh.

"Wan, kunaon?"

"Teu nanaon." Awan menarik napas sejenak, kemudian ia berkata, "Haté abdi, Ris."

"Sok cerita."

Awan mulai bercerita tentang Jingga, kedekatan mereka, dan pertemuannya dengan wanita yang pernah ia temui di restoran.

"Terus reaksi Jingga begitu?"

"Kumaha, nya? Asa aneh."

"Tapi ga aneh-aneh banget?" tebak Haris.

"Saya merasa bersalah sama Jingga, Ris, tapi saya ga tau mau minta maaf kaya gimana."

"Menurut saya sih kamu emang brengsek banget. Sesudah pepet Jingga, eh kamu asyik ngejar wanita lain di hadapan dia."

"Tapi kan saya boleh punya empat--"

Kepala Awan dipukul oleh Haris. Ia meringis.

"Wan, nyebut! Adil téh hésé!"

"Nya, Ris, bercanda."

Haris menggelengkan kepalanya dan berkata, "Kalau saya di posisi kamu, saya milih yang pasti. Saya ga mau ambil resiko lagi. Inget umur, kelamaan nikah kasian calon anak kamu, lo. Nanti ga ngerasa dimengerti sama orangtuanya karena zamannya berbeda jauh."

Awan menarik napas.

"Siap, Kang."

***

Kunaon: kenapa

Teu: tidak

Nanaon: apa-apa

Haté: hati

Abdi: saya

Kumaha: bagaimana

Nya: ya

Asa: seperti

Téh: (tidak ada artinya)

Hésé: susah, sulit

---

Notes: mari gebukin Awan rame-rame #ga #abaikan

Mungkin readers heran dengan Awan yang labil padahal udah dewasa, tapi buktinya memang banyak orang dewasa yang sulit mengerti masalah cinta dan jodoh. Yah, Awan salah satunya.

Ngomong-ngomong, Acantha dan Lita adalah karakter saya di dua cerita panjang yang akan langsung saya serahkan ke penerbit. Biar kekinian, jadi saya sambung sama Jingga(?)

Lita setahun lebih muda dari Jingga, sementara Acantha, yang paling muda, berbeda dua tahun dari Lita dan tiga tahun dari Jingga.

Jingga | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang