Jingga menatap rumah barunya yang sudah ia tata. Ralat, perabotnya saja yang ia tata. Sisanya ia biarkan menumpuk di kotak-kotak yang jumlahnya tidak banyak.
Ia mengambil dompet dan membayar jasa pick up. Kemudian, ia duduk di satu-satunya sofa yang ia miliki.
Bandung dilanda hujan besar. Cuaca tak cocok dengan suasana hatinya yang cerah. Seharusnya, ia tak memilih Bandung. Ia benci hujan!
Jingga membuka salah satu kotak. Ia menemukan kotak teh dan mie instan. Tak lama kemudian, ia sibuk di dapur.
Saat ia tengah memasak, sebuah pesan singkat masuk ke ponselnya. Ia melirik pesan yang tampak di header ponselnya.
Pak Brian: Selamat malam. Jingga, jangan lupa besok .....
Sial, memang, pesannya tak terlihat semua. Kali ini, pesan singkat harus menunggu. Ia lapar!
Jingga membawa mie dan tehnya ke sofa. Ia kembali bersantai. Tangannya menari di layar ponsel. Ia membuka pesan singkat dari Pak Brian, bos kantor barunya.
Pak Brian: Selamat malam. Jingga, jangan lupa besok ke ruangan saya dulu sebelum bekerja. Terima kasih.
Jingga: Selamat malam. Baik, Pak.
***
Sudah merupakan kebiasaan Jingga untuk mengganti nomor, menghapus seluruh kontak yang ia miliki, dan menghapus seluruh media sosial saat ia pindah. Ia tak suka dikejar atau berhubungan dengan seseorang yang pernah hadir di hidupnya. Ia lebih suka berganti suasana setelah periode waktu tertentu.
Saat itu, ia tengah melangkahkan kaki ke kantor dan mendapati suasana yang masih hening. Ia lupa bahwa kantor barunya baru aktif jam sembilan. Ia masih terbiasa dengan jadwal kantor lamanya yang mengharuskannya tiba pukul sembilan.
Jingga melangkah ke resepsionis. Seorang wanita setengah mengantuk tengah menyampirkan jaket di kursi.
"Selamat siang, Mbak," kata Jingga pada resepsionis. "Apakah Pak Brian sudah tiba?"
"Dengan siapa, ya, Mbak?"
"Jingga Maharani."
"Oh, Mbak Jingga," kata resepsionis itu sambil tersenyum. "Selamat datang di kantor, Mbak Jingga. Saya Sabrina."
Jingga menyalami resepsionis itu. Ia berbasa-basi.
"Pak Brian belum datang. Bagaimana jika saya tunjukkan ruangan kerja Mbak?" kata Sabrina sambil menawarkan diri.
Jingga menyambut ajakan Sabrina dengan senang hati.
Yang Sabrina maksud 'ruang kerja' adalah satu kubikel kecil di sebuah ruangan besar yang padat. Walaupun sempit, suasananya menyenangkan.
Sabrina menunjuk bangku-bangku di sebelah Jingga. Ia bergumam, "Yang duduk di samping kanan Mbak sih Mas Banu. Samping kiri, jika saya tak salah ingat, Mbak Tata. Ada Mas Indra di belakang. Mas Awan duduk menghadap Mbak."
Banu, Tata, Indra, Awan. Jingga wajib mengingatnya.
Jingga mengikuti Sabrina kembali ke meja resepsionis. Saat tiba di sana, matanya menangkap sosok pria mapan yang terlihat tampan.
"Selamat pagi," sapa pria itu. "Mbak Jingga Maharani, ya?"
"Selamat pagi, Pak." Jingga tersenyum. "Benar, Pak."
"Mari ikuti saya."
***
Sore sudah menjelang. Jingga masih sibuk mengetik pekerjaannya ketika matanya menangkap sosok yang terlihat kurang tidur di hadapannya. Kalau tak salah, namanya Awan.
Jingga tersenyum pada Awan saat ia tengah merapikan barang-barangnya. Ia tengah bersiap untuk pulang.
"Lembur, Mas?"
"Iya, Mbak. Biasa, permintaan tiba-tiba dari klien."
Jingga tertawa dan berbisik, "Semangat, Mas--"
"Awan," kata pria itu sambil berdiri dan mengulurkan tangannya. "Hendrawan Setiadi."
Jingga tak membalas uluran tangan Awan. Ia memang tak suka menyentuh laki-laki.
"Maaf."
Awan menarik kembali tangannya. Perasaan Jingga menjadi tak nyaman.
"Tak apa. Jingga Maharani."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jingga | ✓
RomanceSemburat jingga. Awan yang berarak. Petang menjadi semarak ketika keduanya bertemu. Sore menjadi megah, senja menjadi indah. Ini adalah kisah Jingga dan Awan yang berjalan beriringan dengan segala kekurangan untuk membuat sore tak terlupakan. Me...