#21

887 38 1
                                    

Saat Awan mengangkat muka, Jingga sudah berjalan ke pantry. Rasa bersalah berkelebat di pikirannya.

Ia sudah menghancurkan hati Jingga, tapi ia memilih untuk bersikap dewasa. Ia tak marah dan malah menghargai gadis pilihan Awan. Kini, ketika Awan terjatuh, ia menopangnya dan menawarkan bantuan.

Jingga kembali sambil membawa secangkir teh hangat.

"Tadinya saya mau bikin kopi, tapi saya ga tau Akang sudah makan atau belum. Teh aja, ya?"

Jingga meletakkan kopi di mejanya. Awan menggumamkan terima kasih.

Jingga kembali duduk di mejanya. Awan melihatnya mencabut beberapa sticky notes. Hanya tersisa satu sticky notes di sana, berwarna hijau pudar, entah tulisannya apa.

***

Jingga memasukkan barang-barang di mejanya ke kardus. Ia meletakkan kardus itu di bawah kakinya karena ia masih harus bekerja lagi esok.

Berpetualang di Bandungnya selesai. Surabaya, satu hari lagi, ya.

Sambil berjalan ke mobilnya, ia menelepon jasa pick up yang akan mengantarnya ke Surabaya.

Saat sudah mencapai mobilnya, pundaknya dipegang seseorang. Jingga menoleh dengan kaget. Awan berdiri di sana. Matanya merah, namun tatapannya dalam. Dengan cepat, Jingga menepis tangan Awan yang masih berada di bahunya.


"Kenapa, Kang?"

"Kamu mau pergi?"

Jingga berdeham sebelum menjawab, "Ya."

"Kenapa?"

"Karena saya adalah pengembara, bukan seseorang yang senang menetap."

Awan membeku. Kata-kata Jingga jelas memukul Awan. Ia linglung saat meninggalkan Jingga.

"Kang, mau saya anter pulang? Akang keliatan lemes, lo."

"Nggak apa-apa."

"Ya udah, saya setirin. Gimana?"

"Terus kamu gimana? Ini udah malam, lo, Ga."

"Naik taksi ke kantor, terus nyetir lagi ke rumah."

"Jangan, Ga. Rumah saya jauh. Di Kopo, lo."

"Ya nggak apa-apa."

Setelah berdebat panjang, Awan setuju untuk diantarkan hingga rumahnya, tapi ia memilih naik mobil Jingga. Ia tak ingin Jingga membahayakan dirinya dengan sendirian naik taksi.

Mandiri, pintar, tak canggung dengan konsep maskulin dan feminin, walaupun cukup keras kepala dan tertutup, dan sadar akan kewajiban sebagai wanita. Apa yang kurang?

Jingga menatap Awan sekilas. Ia tampak lemah. Sambil menunggu lampu hijau di perempatan yang memang cukup lama, Jingga meminta Awan mengetikkan alamat tujuannya di Waze. Segera setelah Awan melakukannya dan menemukan rumahnya, Jingga menyuruh Awan untuk tidur.

***

"Kang, udah sampai."

Awan terbangun. Badannya lemas dan pegal. Matanya masih mengantuk.

Jingga turun dari mobil dan berusaha membukakan pagar untuk Awan. Tak lama kemudian, seorang wanita muda--mungkin masih kuliah--keluar rumah.

"Mbak siapa, ya?"

"Saya rekan kantornya Kang Awan."

Gadis itu berhenti. Sedetik kemudian, ia menghambur ke rumah sambil berteriak memanggil ibunya.

Awan baru saja turun dari mobil sambil berkata, "Biarin aja, Ga. Pulang aja, kemalaman nanti."

Jingga mengangguk.

"Duluan, Kang. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam."

Jingga | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang