#22

1.2K 42 0
                                    

"Kenapa Mbak-nya disuruh pulang dulu? Ibu juga mau liat!"

Awan mendesah ketika ibunya mengomelinya. Awan memang tak pernah membawa perempuan ke rumah, sehingga adik dan ibunya selalu heboh bila mendapati dirinya bersama wanita lain.

"Bu, rumahnya di kota. Masa lama-lama di sini? Lagipula, besok dia pindahan."

"Oh, gitu. Maaf atuh, Wan!"

Awan hanya tertawa geli dan menggoda ibunya.

"Ibu juga, sih, kurang cepat keluarnya."

"Ih, kamu mah!"

Awan dan ibunya tertawa. Saat ibu Awan berhenti tertawa, ia melihat anak laki-lakinya sedang berpikir.

"Mikir apa kamu, Wan?"

Awan tampak enggan berbicara pada awalnya, namun ia berujar, "Kalau Awan nikah, ibu setuju?"

Ibunya cukup terkejut, namun ia menjawab, "Setiba-tiba ini, Wan. Ada apa?"

Awan membeku sejenak.

"Perempuan tadi, Bu. Ia baik sekali. Ia memenuhi syarat calon istri shalihah-nya Awan. Dewasa, pengertian, baik, mandiri. Banyak deh! Tapi dia mau pergi besok. Ia memang tak bisa tinggal di satu tempat dalam jangka waktu lama. Masa lalunya juga mencekam dan cukup kelam. Awan juga takut Ibu kecewa, soalnya dia nggak rupawan. Tapi dia baik dan pasti siap dibimbing sama Awan.

"Kalau Awan nikah sama perempuan seperti itu, Ibu setuju?"

Ibu Awan terdiam sejenak sebelum menjawab, "Boleh."

"Apa?" seru Awan dan adiknya.

Semudah itukah ibunya memberi izin?

"Ibu ga mempermasalahkan pilihan kamu. Kamu udah gede, Wan, udah bisa memutuskan yang terbaik buat kamu. Yang baik menurut Ibu belum tentu baik buat kamu. Zaman sudah berubah." Ibunya menarik napas. "Tapi kamu yakin sama dia, kan?"

"Yakin, Bu. Seratus persen."

"Oke. Mau lamaran kapan?"

***

Bima benar. Perempuan itu harus dikejar sebelum ada yang punya, apalagi dengan kualifikasi seperti Jingga.

Pagi itu, dada Awan bergemuruh saat melihat Jingga duduk di hadapan laptop. Ia serius sekali. Pasti karena hari itu adalah hari terakhirnya bekerja.

Siang menjelang, petang datang. Jingga memeluk rekan wanitanya dan berterima kasih pada rekan pria. Setelah foto bersama satu divisi bangunan laut, Jingga berjalan ke tempat parkir sambil membawa kotak kecil. Langkahnya dicegat oleh Awan.

"Ga, boleh tunggu sebentar?"

Jingga membalikkan badan.

"Ga, ikut saya pulang, yuk."

"Ngapain, Kang?"

"Ikut dulu aja."

Mau tak mau, Jingga mengikutinya. Sekali lagi, ia dihadapkan dengan kemacetan Jalan Kopo yang terkenal seantero Bandung.

Kali itu, dia diajak masuk ke rumah Awan. Ia diperkenalkan pada anggota keluarga Awan. Hanya ada tiga orang di sana: ibu Awan, adik Awan, dan Awan sendiri.

"Ayahku memang sudah meninggal."

Jingga mengangguk.

"Sebenarnya, saya ngajak kamu ke sini karena--" Awan menundukkan kepalanya, "saya mau ngelamar kamu."

Awan mengangkat mukanya. Ekspresi wajah Jingga tak berubah.

"Maaf, ini mendadak sekali. Menurut kamu bagaimana?"

***

Jujur, Jingga terkejut. Jujur, Jingga senang. Tapi ia tak benar-benar ingin menunjukkannya. Lagipula, pernikahan bukan perkara sepele.

"Apa yang harus saya lakukan jika saya menjadi istri Akang?"

"Saya tidak mensyaratkan apapun. Saya ikhlas bersamamu."

"Kalau begitu, saya boleh kasih syarat?"

"Silakan."

Jingga berdeham.

"Saya masih ingin bepergian."

***

Awan terdiam. Syarat ini cukup sulit, karena ia tak tega meninggalkan ibu dan adiknya.

Ibunya memegang lengan atas Awan. Matanya teduh. Ibunya mengizinkan Awan ikut mengembara bersama Jingga.

"Jangan mempersulit pernikahan, ingat," kata ibunya.

Awan mengangguk dan menatap Jingga.

"Baiklah."

"Dan izinkan saya pergi ke Surabaya besok. Saya sudah diterima kerja di sana. Rumah saya juga sudah terjual."

"Apa?"

Jujur, Awan terkejut mendengar berita itu. Ia berpikir bahwa Jingga masih ingin di Bandung dalam beberapa hari ke depan.

"Baiklah, duluan saja, nanti saya susul. Banyak yang harus saya urus, Ga, misalnya surat pengunduran diri. Menikah di sana juga?"

"Saya tak mempermasalahkan resepsi, Kang. Cukup diumumkan saja nantinya."

"Baik."

***

Menikah...

Jingga berbahagia, walaupun agak tak enak karena harus mengabarkan orangtuanya lagi. Awan meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja.

Ia merasa bersyukur atas rezeki jodohnya. Tak terlambat dan juga tak terlalu dini. Pas sekali. Dengan orang yang terbaik untuknya pula.

Bismillah, semoga pernikahan ini sakinah, mawaddah, dan warahmah. Aamiin.

Jingga | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang