#15

858 39 0
                                    

Seperti biasa, Bandung hujan lagi.

Awan memukul setir mobilnya. Jika seperti ini, jalanan akan macet. Ia pulang terlambat.

Ia membelokan mobilnya. Jalanan sepi. Terlihat seorang wanita yang sedang menunggu di halte.

Wanita itu...

Mobil Awan mendekat. Awan keluar dengan payungnya. Ia menghampiri wanita itu.

"Mau ikut mobil saya, Mbak?"

Sang wanita melihat Awan dari atas hingga ke bawah. Ekspresinya tak bisa ditebak.

"Mas siapa, ya?"

"Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya pria yang tak tega melihat seorang wanita pulang sendiri di malam hari."

"Saya menunggu taksi."

"Sepertinya akan lama, Mbak. Tenang, saya nggak akan ngapa-ngapain."

Wanita itu berpikir cukup lama sebelum menjawab, "Baiklah."

Selangkah lebih dekat dengan wanita yang Awan jumpai di restoran.

***

"Hendriawan Setiadi. Panggil saya Awan."

"Alina Pratiwi. Alin."

Sudah berpakaian sopan, menjaga diri, lembut lagi.

Keduanya terdiam. Karena keduanya total strangers, mereka tak punya bahan pembicaraan. Sepanjang jalan, tak ada bahan pembicaraan selain Alin yang mengarahkan jalan pada Awan.

Kejadian ini membuat Awan berbunga-bunga, bahkan hingga keesokan paginya. Bahkan Sabrina saja menyadarinya.

"Selamat pagi, Mas Awan. Bahagia banget keliatannya."

"Habis ketemu bidadari, Sab."

"Siapa? Mbak Jingga?"

Awan lupa bahwa satu kantor mengetahui bahwa ia sedang mengejar Jingga.

"Mungkin."

***

"Sebrengsek-brengseknya cowo, Awan paling brengsek."

Itu kata Sabrina saat Jingga makan siang bersamanya dan Tata.

"Saya sih nggak mempermasalahkan, Mbak."

Sabrina dan Tata terkejut. Tiba-tiba, Sabrina dan Tata berbicara sekaligus.

"Sumpah?"

"Tes tes satu dua tiga. Mbak Jingga, bisa diulang?"

"Jangan bohong."

"Setelah dideketin kaya gitu? Saya aja bisa baper, lo."

"Kayanya ada yang nyampurin sesuatu di jus kamu deh."

Jingga tersenyum sebelum menjawab, "Sekarang saya balik nanya. Jodoh itu misteri, nggak?"

Mau tak mau, Sabrina dan Tata mengangguk.

"Saya udah nikah belum sama Kang Awan?"

Sabrina dan Tata sama-sama menggeleng.

"Ya berarti belum ada jaminan kalau saya akan bersanding dengannya. Kalau Kang Awan ujung-ujungnya berjodoh sama yang lain, ya berarti ada yang lebih baik untuk saya, kan?"

Sabrina langsung memeluk Jingga. Ia berkata, "Dewasa banget, Ga."

"Nggak juga." Jingga tertawa. "Ini masih sering kelepasan bapernya. Ya tapi saya ga mau menggeser prinsip hidup saya dengan yang tampak menggiurkan di hadapan saya."

Tata mengangguk dan berkata, "Kalau kamunya udah ikhlas gini, saya sama Sabrina jadi lega." Ia berdecak. "Awan bakalan rugi banget ga mau sama kamu."

"Ya kalau dia nggak sama saya, berarti dia akan bersama dengan seseorang yang terbaik baginya. Sesederhana itu, kan?"

***

Ada yang mengganjal hati Jingga. Bukan karena ia tak siap mengikhlaskan Awan, tapi sikap Awan saat mencintai wanita yang ternyata bekerja di kantor sebelah. Sangat kekanak-kanakan. Ia bahkan sempat berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil.

Apa ini yang dinamakan puber untuk yang kedua kalinya?

Banu si super-serius dan super-tak-peka dari divisi bangunan laut saja menyadari sikap kekanak-kanakan Awan. Mengapa pria yang jatuh cinta menjadi senorak ini?

"Jangan salah, Mas Banu. Jarang-jarang ada wanita kerudung panjang supercantik yang mau nyangkut sama saya."

Banu menatapnya tajam, namun Awan sudah tak peduli lagi.

"Terserah kamu, Wan. Asal ga ngeganggu Jingga aja."

Awan tersentak mendengar nama Jingga. Rasanya sudah lama sekali sejak ia memikirkan Jingga. Alin benar-benar mengalihkan dunianya.

"Ga akan. Toh saya sama Jingga cuma gosip kantor, kan?"

Jingga | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang