#10

986 47 0
                                    

Awan tak dapat membaca sikap Jingga lagi. Marah iya. Kesel iya. Tapi dingin. Tapi cuek. Tapi tak benar-benar tampak apa yang sebenarnya ia rasakan.

Akhirnya, ia hanya berlalu sambil membawa gelas jus tomat yang sudah kosong. Ia memerintahkan seseorang untuk mengembalikannya ke warung, dan kembali bekerja. Pikirnya, selama beberapa hari ke depan, Jingga akan kembali normal.

***

Biasanya scene bandara selalu mengantarkan pada air mata, perpisahan, dan pelukan hangat. Di dunia nyata, bandara tak lebih dari tempat pesawat lepas landas dan mendarat.

Jingga melirik anak perempuan yang akan dilepaskan orangtuanya. Ah, drama.

"Flight jamber?" tanya Tata. "Mau ke toilet dulu nih."

"Masih lama, Ta."

Tata berlari ke toilet. Erza dan Awan tergelak melihatnya. Jingga sendiri tak tergelak. Pikirannya berkelana ke tempat lain.

Beberapa orang mendekati tempat duduknya. Jingga terbelalak. Erza dan Awan menatap bingung.

"Hani..."

Ayah, ibu, adik, serta keponakan Jingga berdiri di sana. Jingga mendengus . Ia memilih untuk memalingkan muka.

"Ibu ga tau kamu ada di mana," ibu Jingga memulainya dengan lamat-lamat, "makanya Ibu cuma bisa nunggu kamu di bandara. Kamu pasti ke sini naik pesawat, kan?"

"Terus?" desis Jingga. "Ngapain capek-capek nyusulin Hani? Bukannya Hani dianggap ngelonte ya?"

"HANI!" seru ayahnya.

"Kenapa marah? Ayah kan yang ngomong gitu? Kalau Hani ga bisa jadi dokter, berarti Hani ngelonte."

Ayah Jingga maju. Ia hampir menampar anaknya. Ya, hampir, karena Awan menahan tangan pria itu.

"Maaf, Om, jangan buat Jingga terluka lagi."

Sebenarnya, Awan hanya asal tebak. Tapi, ketika ia menatap Jingga, ia yakin tebakannya tepat.

Ayah Jingga melepaskan cengkeraman Awan. Ia duduk di kursi sebelah Erza.

"Ayah cuma mau yang terbaik buat kamu."

"Iya, ya, ngomong baik-baiknya setelah Hani kerja." Ia menarik napas. "Sumpah, Yah, ga usah basa-basi sama Hani. Bilang aja mau duit, soalnya Ayah udah tua dan adikku ini--" Jingga menatap adiknya dengan pandangan sinis, "--ga bisa kerja karena bahkan ga lulus SMP, kan? Selama ini kebaikannya ke mana, Yah? Maksa-maksa masuk kedokteran, nyiksa, mukul, kekerasan.

"Jujur, Yah, pas kemarin Hani ke rumah, Hani udah memberanikan diri buat bertemu orang yang paling bikin Hani sakit. Tapi Apa kata Ayah? Hani ngelonte kalau ga jadi dokter? Salah punya passion yang berbeda dari rencana Ayah?

"Maaf, Yah, Hani udah dewasa. Hani ga mau diatur lagi. Hani juga punya hak buat menentukan jalan hidup Hani."

Kebetulan sekali pengumuman keberangkatan pesawatnya sudah terdengar. Ia bangkit dan menatap empat orang dengan tatapan jijik.

"Hani pergi dulu. Ga usah nyari, ga bakal ketemu juga."

Tata berlari dari toilet. Ia melihat keluarga Jingga yang menangis, tatapan Jingga menggelap, serta Erza dan Awan yang canggung.

"Ngapain di sini? Yuk berangkat!" ajak Tata.

Awan, Erza, dan Jingga mengikuti langkah Tata. Lagi, Jingga tak membalikkan badannya.

Jingga | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang