"Hai, Rani. Lama tak bertemu."
Jingga membeku. Hanya satu orang yang memanggilnya Rani: Atlanta Ranu. Masa lalunya. Yang menorehkan luka terdalam di dadanya.
"Mas, nama teman saya Jingga, bukan Rani," ujar Tata.
Sial, Mbak! Diem aja bisa nggak, sih?
Akhirnya, Jingga mengangkat mukanya. Ia menatap Ranu, panggilan kesayangannya untuk Atlanta dulu.
"Hai, Atlanta. Apa kabar?"
Atlanta terbelalak. Ia tertawa.
"Aduh, maaf, Jingga. Kebiasaan manggil kamu pake nama kesayangan, sih."
Percayalah, jika Jingga sedang memegang golok pada saat itu, Atlanta sudah mati mengenaskan.
"Kenapa kamu ganti nomor setelah lulus SMA? Kamu tahu, nggak, orangtuamu panik?"
Jingga tak menjawab perkataan Atlanta. Ia hanya mengaduk minuman pesanannya. Pikirannya mengembara ke mana-mana.
"Ga, maaf ya, bikin kamu ga enak gini. Oh, ya, boleh minta nomor baru kamu, nggak?"
Pasti Atlanta punya maksud tersembunyi. Sejak dulu, bahkan saat masih berhubungan dengannya, Atlanta senang nyinyir.
Sekaligus pria yang dulunya paling Jingga sayang.
Jingga langsung berdiri. Gelas minumannya berada di genggamannya. Untung ia sudah selesai makan. Jadi, ia tak perlu canggung jika harus pergi dari mejanya sebentar.
"Ga usah. Kalau kamu mau ngobrol sama saya, langsung aja sekarang."
Atlanta tertawa.
"Kamu ga berubah. Sikap kamu itu, lho, Jingga banget!"
***
Jingga dan Atlanta duduk di meja depan restoran. Atlanta sedang menunggu pesanan. Jingga menahan diri agar tak melemparkan gelasnya pada Atlanta.
"Apa kabar?" ujar Atlanta.
"Jangan basa-basi. Apa maumu?"
"Pedas seperti dulu."
Jingga tak merasa terkenang. Tatapannya datar.
"Oke, oke. Cuma basa-basi. Nggak salah, kan?"
Jingga mengerutkan dahi. Sulit sekali menghadapi Atlanta. Sejak dulu, ia pandai berkelit. Apalagi sekadar mengalihkan pembicaraan.
"Oke, kamu ga mau ngomong duluan. Biar saya yang nanya. Apa maksud kamu ngomong gitu di depan teman-teman saya?"
"Ya ga apa-apa." Atlanta mengangkat bahu. "Biar mereka tahu kamu yang sebenarnya seperti apa."
"Menurutmu saya sedang berpura-pura?"
"Maksudku, yah--"
"Aku tak sedang memakai topeng."
"'Tidak'?" Atlanta mendecakkan lidahnya. "Mereka ga tahu dulu kamu perempuan jadi-jadian. Kaya cowo banget. Masih mending ada yang sayang. Terus sekarang kamu udah pakai kerudung begitu aja? Nutup-nutupin masa lalu kamu?"
Jingga tak mengerti. Kerudungnya dipermasalahkan oleh Atlanta. Namun, ia hanya menjawab, "Saya ga nutupin. Mereka aja yang ga nanya."
"Sama aja!" Atlanta mengacak-acak rambutnya. "Lagipula juga, kalau kamu pakai kerudung kaya gini, mana ada cowo yang mau?"
Jingga mengerutkan dahinya.
"Terus? Apa urusan kamu?"
Atlanta tak menjawab. Ia bangkit dan duduk di sebelah Jingga. Ia berbisik, "Udahlah, Rani, jangan bohongin diri sendiri lagi. Yang 'menerawang' akan selalu menang. Tau sendiri cowo sekarang kaya gimana." Ia tertawa pelan. "Kalau kamu udah frustasi, pulang. Ke saya. Saya ga akan nolak, kok."
Saat itulah Tata, Awan, dan Erza keluar restoran. Mereka mendapati Atlanta sedang berbisik ke Jingga.
"Eh! Maaf ngeganggu!" seru Erza. "Kita mau balik ke hot--"
Jingga berdiri sambil berseru, "Ayo!"
Atlanta terkejut akibat gerakannya yang tiba-tiba. Jingga berseru pelan, "Maaf, Ta, saya bukan wanita yang senang singgah di satu tempat lagi. Saya sudah jadi pengembara." Ia berdeham. "Saya ga butuh rumah, apalagi jika tujuan kepulangan saya adalah kamu."
Jingga berlari mengejar teman-temannya. Ia memilih untuk tak berbalik lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jingga | ✓
RomansaSemburat jingga. Awan yang berarak. Petang menjadi semarak ketika keduanya bertemu. Sore menjadi megah, senja menjadi indah. Ini adalah kisah Jingga dan Awan yang berjalan beriringan dengan segala kekurangan untuk membuat sore tak terlupakan. Me...